Sabtu, Juni 21

MENGENANG PERNIKAHAN DINI DALAM SONGENNEP CULTURE

Songennep asal kata Sumenep memiliki catatan sejarah san budaya yang panjang, 737 tahun lebih. Sebuah masa, tentunya banyak melahirkan dinamika budaya dan kearifan yang patut untuk digali, revitalisasi untuk dapat diaktualkan di saat kini. Namun sisa peradaban yang banyak memiliki keburukan dan tak sesuai dengan hidup kekinian, tentu harus ditinggalkan.

Salah satu kebiasaan di masyarakat Madura pada uumnya di masa silam, yaitu menjodohkan anak-anaknya di saat usia kanak-kanak, bahkan ada seorang anak sudah dijodohkan saat masih berada dalam kandungan. Misalnya: “Fulan jika anak yang kukandung nanti lahir laki-laki dan anak yang kau kandung nanti lahir perempuan, maukah nanti anak kita dijodohkan.” Sebuah akad yang dilakukan sebelum sang anak dilahirkan, dan jika benar jenis kelamin di antara keduanya berbeda, maka perjodohan itu akan dilangsungkan.

Pernikahan usia dini, memiliki catatan sejarah yang cukup beragam di negeri ini. Hampir di setiap daerah di Indoensia memiliki kisah mengenai pernikahan di usia dini, dengan tata cara yang berbeda pula. Jika pada saat ini banyak pernikahan dini dilaksanakan karena mengalami kasus BUDe (Bunting Duluan), kecelakaan seksual sebelum penikahan. Namun di masa silam, perjodohan dan pernikahan di usia belia dan dipilihkan orangtua, adakalanya karena mereka ingin mengikat tali kekeluargaan antara kerabat supaya mengeratkan kembali hubungan keluarga yang mulai menjauh. Pernikahan usia dini bisa dilakukan karena hutang budi terhadap suatu keluarga. Atau juga antar kedua orangtua sudah mengenal latar belakang keluarga masing-masing, untuk meneruskan keturunan yang baik mereka menjodohkan anknya dengan seseorang yang sudah dikenal baik garis keturunannya, Bibit, bebet, dan bobotnya.

***

Apa yang disodorkan oleh kelas X-5 dalam film pendek “ Songennep Culture” (selanjutnya; SC) cukup menarik untuk disimak. Sebuah upaya untuk mengungkap kembali perkawinan di usia dini atau perjodohan terhadap anak-anak di usia kanak. Sebuah tradisi yang saat itu banyak dilakukan hampir di setiap daerah di kawasan Madura. Maka, anak-anak perempuan di desa saat itu sejak kecil sudah dipersiapkan untuk memasuki lembaga pernikahan. Mereka diajari untuk bisa mengerjakan dan mahir mengurus rumah tangga;memasak, melayani suami, atau persiapan untuk pengasuhan anak. Proses pendewasaan sehingga mereka siap memasuki lembaga pernikahan.

Penceritaan yang dijalin dalam SC cukup menarik, Udin yang berasal dari desa bersekolah ke kota untuk menempuh cita-cita. Sebuah keinginan yang lumrah untuk meningkatkan pendidikan dan kualitas SDM, namun suatu ketika calon mertuanya datang menyusul dan mengharuskan Udin kembali ke desa, untuk menikah dengans eorang perempuan yang telah dijodohkannya. Di situ kisah mengalir balik flashback ke masa-masa saat perjodohan dilakukan.

Hal yang sangat menarik dari film ini, adalah mengenang kembali perjodohan di masa kanak-kanak yang banyak terjadi di masyarakat desa di daerah Madura. Sebuah tradisi masyarakat yang jika dipandang pada saat ini, merupakan sesuatu yang aneh. Di saat anak-anak muda atau generasi Madura yang kian terbuka menerima perubahan dan di saat pendidikan telah merambah ke berbagai pelosok desa, telah menyadarkan masyarakat untuk menempuh pendidikan. Artinya ketika mereka menempuh pendidikan ke yang lebih tinggi serta merta menunda usai perkawinan di usia muda. Jadi jika film SC dibenturkan pada kondisi kekinian hal itu, sangat berseberangan dengan kenyataan kini. Anak-anak muda Madura sudah enggan melakukan pernikahan dini, dan menolak untuk dijodohkan oleh orangtuanya. Kalau pun ada di beberapa desa, pendidikian masih tetap menjadi salah satu pilihan untuk memperbaiki harkat dan martabat mereka dalam keluarga. Maka tidak berlebihan jika tidak semua tradisi harus selalu dilestarikan, ada kalanya yang memang berbenturan dengan kekinian, harus ditinggalkan, untuk menjadi sebuah kehidupan yang lebih baik. Sebuah dinamika budaya akan berkembang di tengah sesaknya perubahan di setiap jaman, dan yang mampu adaptif dan relevan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, akan terus eksis.
Maka, tak berlebihan jika hadirnya film pendek SC merupakan sebuah upaya pendokumentasi masa lalu, dan perlu dipertimbangkan untuk terus dihidupkan di masa sekarang. Good Luck! (Hidayat Raharja)

1 komentar:

X-5 mengatakan...

resitalsmansa jangan hanya tinggal namanya,lanjutkan acara ini untuk thun tahun berikutnya,buat X-5 acara resitalnya seru abis.....