Rabu, Juli 9

TETUKO : MEMADUKAN UNSUR GARAP TEATER MODERN – TRADISI

Kesenian tradisional Topeng Dhalang yang berkembang saat ini masih mampu mewarnai perkembangan kesenian tradisional di wilayah kabupaten Sumenep. Seni tradisional ini masih menjadi ikon pertunjukan yang berkembang di daerah pegaraman diujung timur pulau Madura. Namun perkembangannya saat ini sudah mulai terpinggirkan dengan pertunjukan-pertunjukan hiburan seperti, Musik Dangdut dan hiburan televisi. Perkembangan awal keberadaan teater tradisional topeng dhalang memang sangat dimintai dan pementasannyapun menyebar bukan hanya pada wilayah pesisiran namun juga di kota kabupaten. Ia berkembang menjadi bagian dari upacara ritual (siklus kehidupan) dan juga untuk media Rokat atau upacara pembersihan dari keadaan malapetaka atau keburukan di suatu tempat. Rokat Tasek, rokat buju’, rokat Pandhaba atau rokat untuk mengusir atmosfer jahat. Kepemilikan masyarakat Madura atau khususnya di Sumenep kepada pertunjukan topeng dhalang bukan hanya gebyar pementasannya namun juga isi dari cerita yang dibawakan mengandung filosofi-filosofi kehidupan yang berkembang di lingkungan masyarakat tradisional.

Dengan menggunakan media seorang dalang, para pemain semuanya mengenakan topeng sebagai media ekspresi tokoh-tokoh yang dibawakan. Tokoh-tokoh tersebut banyak mengambil dari penokohan cerita Ramayana maupun Mahabarata. Kedua cerita tersebut diolah kembali oleh seorang dalang disesuaikan dengan cerita rakyat yang berkembang di wilayah Madura, dan ini dapat dikatakan bahwa pertunjukan topeng dhalang bersifat luwes dan fleksible. Pada kesempatan proses produksi, komunitas Teater Smansa dengan sutradara Agus Suharjoko mencoba untuk mengkolaborasikan antara teater tradisional Topeng Dhalang dengan konsep teater modern. Dengan mengambil naskah Tetuko (Gatot Kaca kecil) saya mencoba mencari dan menemukan peluang-peluang apa saja yang sekiranya dapat dieksplorasi dari teater tradisional topeng dhalang ke dalam wilayah garap teater modern. Penggunaan topeng sebagai media karakter tokoh dan perubahan bentuk topeng dapat menjadi efektif untuk bahan eksplorasi karakter. Gerak tubuh pemain tidak lagi bisa leluasa seperti karakter teater modern namun diarahkan ke style tokoh stereotif tokoh wayang. Ensable musik banyak memanfaatkan musik gamelan sebagai garapan untuk pendukung suasana dan pengiring cerita atau adegan. Namun penggunaan bahasa Madura sebagai media komunikasi pada pertunjukan topeng dhalang diganti dengan menggunakan media bahasa Indonesia.

Pencarian hal demikian di dalam proses produksi sangat menguras energi karena masing-masing pemain diharuskan untuk dapatnya melihat dan memahami karakter tokoh pada pertunjukan topeng dhalang dan juga dilakukan pemahaman konsep seni tradisional dengan garapan teater modern. Kami melakukan persiapan kurang lebih empat bulan dan bersama-sama melakukan eksplorasi dari kemungkinan-kemungkinan untuk mengemas sebuah bentuk yang baru dengan pendekatan budaya lokal. Ini sangatlah menarik karena topeng dhalang sebagai bentuk kesenian tradisional mulai dijauhi oleh generasi muda khusunya para pelajar. Namun kami mencoba mengeksplorasi kembali dan yang diharapkan semoga dalam bentuk kemasan kekinian akan mendekatkan kembali teater tradisional ke wilayah pilihan hiburan para pelajar. Dan ternyata apa yang ditawarkan oleh Komunitas Teater Smansa dengan garapan teater “TETUKO” kewilayah garap teater modern dengan nuansa tradisi mendapatkan hasil saat mengikuti Festival Fragmen Budi Pekerti Pelajar se Jawa Timur 2007 di Batu – Malang yang diadakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur meraih gelar 5 Penyaji Terbaik.

Pementasan ini didukung oleh tim produksi :
Sutradara : Agus Suharjoko
Penata Musik : Akhmad Darus
Penata Artistik : Syaiful Amri
Pemain : Eka Fitria Sari, Fitri Indah Kadaryanti, Ipoeng, Julie, Dedy Fauzan, Akhmad Fauzan, Riena, Sinta Rustria, Jaka Kusuma, Ali yiek (by. Agus teater)

Minggu, Juli 6

AROKAT MEMPE : PENGGALIAN BUDAYA YANG TERHIMPIT

Betapa derasnya budaya global menghempaskan nilai-nilai tradisi yang tumbuh dan berkembang di lingkungan budaya masyarakat masa kini. Ia bagaikan virus yang menyerang bagian-bagian terpenting tubuh kebudayaan kita. Sedikit demi sedikit budaya lokal terpinggirkan hingga tidak dapat dilihat kembali saat ini. Awalnya budaya lokal tumbuh dan berkembang ditengah-tengah lingkungan masyarakat sebagai aturan, norma dan nilai yang sangat dimilikinya. Namun apa yang terjadi saat ini, kita hanya bisa mendengarkan cerita dari kakek dan nenek kita yang sudah enggan lagi bercerita kepada kita, kalau tidak kita tanya. Nilai budaya saat ini sungguh terbuaikan oleh pengaruh wacana yang ada di ruang informasi dan komunikasi tekhnologi. Mereka beragam dan kita suka-suka mau memilih arus informasi yang mana saja susuai dengan selera kita. Mampukah kita menggali kembali nilai-nilai tradisi tersebut untuk diwacanakan kembali pada era globalisasi saat ini?

Nah dari fenomena semacam ini, penulis selaku sutradara AROKAT MEMPE merasa perlu melakukan penggalian nilai-nilai tradisi sebagai kearifan lokal untuk diperkenalkan kembali kepada kaum muda khususnya pelajar di SMA Negeri 1 Sumenep dan masyarakat Madura agar mereka masih mau mengenal kembali kebudayaan kita. Memang rasanya sangat sulit sekali bagaimana mengembalikan wacana penggalian budaya lokal kepada pelajar sementara hiburan dan arus informasi menganggap yang tradisi adalah kuno dan ketinggalan jaman. Namun apakah dengan persepsi semacam ini yang diwacanakan kaum muda langsung kita tidak mau merespon budaya lokal? Nah untuk itu pada garapan karya seni pertunjukan kali ini, saya mencoba memberikan penawaran untuk dapatnya hasil penggalian budaya lokal tersebut mampu disajikan kembali dan diminati oleh kaum muda yang sudah meninggalkan budaya lokal mereka sendiri dan yang lebih akrab dengan tontonan goyang dangdut dan gosip seputar seleb. Lewat konsep seni pertunjukan dengan kemasan kekinian ternyata kita dapat memperkenalkan kembali nilai-nilai tradisi yang sudah terlupakan itu kepada wacana kekinian. Hal ini dapat dibuktikan melalui para pemain yang mulai mengakrabi kesenian tradisional sebagai ide garap seni pertunjukan AROKAT MEMPE.

Kakek dan nenek kita waktu dulu saat mereka tidur dan bermimpi yang mengganjal (mimpi buruk) maka beliau akan melakukan rokat mempe, mereka mempersiapkan jagung sangngar (sangray) dan diadakan pagelaran fragmen topeng dhalang yang membawakan cerita Batara kala dan cerita lainnya sesuai permintaan tuan rumah. Dengan membersihkan tempat di sekitar rumah yang dilakukan oleh dalang dan membersihkan jiwa yang bermimpi maka mulailah adegan Arokat Mempe. Pada kali ini sutradara mengambil ide garap kearifan lokal tersebut dan memberikan bentuk kemasan kolaborasi dengan unsur tari, teater tradisi dan modern serta media wayang kulit sebagai unsur media garapnya. Penerapan konsep pada media wayang bukan lagi bayang-bayang di siluet kain putih dengan disinari cahaya blencong (cahaya obor) namun wayang diperagakan melalui pemain dan digerakkan oleh peraga. Memasukkan unsur-unsur tarian ke dalam garapan juga disesuaikan dengan tema cerita. Namun tak lepas juga ada beberapa tokoh yang diperagakan dengan menggunakan unsur pertunjukan topeng dhalang.
Dengan memanfaatkan durasi minimal hanya sekitar 20 menit pertunjukan Arokat Mempe terasa mengena pada penonton dan pengamat seni pertunjukan saat diikut sertakan ke festival Seni Pertunjukan se Jawa Timur di Taman Krida Budaya Malang 2008. hasil kolaborasi seni tradisi dan modern oleh Lembaga Tanah Kapur dan komunitas teater SMA Negeri 1 Sumenep ini menghasilkan penghargaan dari Gubernur Jawa Timur. Mendapatkan penghargaan 5 Penyaji Terbaik non-ranking, penata artistik terpilih dan Sutrdara terbaik karya seni pertunjukan.
Tim Produksi :
Sutradara : Agus Suharjoko,S.Sn.
Penata Musik : Akhmad Draus
Penata Artistik : Syaiful Amri
Pemain : Resi Eka Yuliana, Eka Fitria Sari, Fitri Indah Kadaryanti, Ipoeng, Nanda, Nency, Shinta, Putri, Sari, Fauzan.(by. agus teater)

Rabu, Juli 2

ALALABANG : MEREVITALISASI BUDAYA MADURA

Kesenian tradisional masih berkembang subur diwilayah pinggiran atau sebut saja pedesaan sebagai salah satu media hiburan masyarakat pendukungnya. Ia tetap bergerak walaupun digempur kanan kiri oleh budaya urban atau lebih ngetrendnya budaya global. Ia masuk dan merasuki wilayah budaya lokal melalui media yang bernama tekhnologi, baik itu melalu pesawat televisi anda ataupun VCD suka-suka anda dan jenis-jenis kesenian lainnya. Memang kebudayaan itu bergerak dan berkembang ke wilayah manapun saja melintasi ruang dan waktu. Sudah banyak kita temui jenis hiburan rakyat yang sudah bergeser ke wilayah budaya baru. Generasi muda sudah tidak mengenal lagi bagaimana fungsi kesenian tradisional, dan mungkin malah enggan untuk mau melihat kesenian tradisional yang semalam suntuk dipagelarkan dilapangan terbuka. Entah alasan takut masuk angin atau malah dilarang oleh orang tuanya. Sebenarnya ruang publik dengan pagelaran kesenian tradisional mengandung wacana nilai-nilai kearifan lokal baik yang ditemukan di dalam pementasan kesenian tradisional ataupun komunikasi silahturahmi antar penonton. Tetapi yang kita temukan sekarang ini adalah peristiwa tawuran ditengah-tengah lantunan musik dangdut yang sarat dengan goyang maut si penyanyi.

Seni tradisonal yang berkembang dan masih hidup saat ini salah satunya adalah Topeng dhalang. Cerita yang disuguhkan masih seputar cerita Ramayana, Mahabarata dan Panji. Penggunaan bahasa Madura baik tingkatan bahasa Halus, sedang dan kasar masih menjadi bahasa komunikasi dalang. Topeng Dhalang ini masih menajdi bagian tak terpisahkan didalam acara siklus kehidupan manusia (Rokat, Perkawinan dan hiburan). Namun kalau kita melihat tingkatan usia penontonnya lebih banyak kaum tua yang memadati lapangan tempat topeng dhalang dipagelarkan. Dengan kondisi seperti inilah, Agus Suharjoko, selaku sutradara ALALABANG mencoba memberikan penawaran baru untuk kemasan seni tradisional dengan kemasan karya kekinian dengan istilah Seni Pertunjukan. Mengambil elemen nilai tradisional dan mengkolaborasikan beberapa jenis seni tradisional seperti; Macapat, Tetembhangan, Wayang rumput (wayang Pappa = pelepah daun pisang), tari kontemporer, papareghan dan teater modern, menjadi satu paket dengan durasi sekitar 30 menit.

Dalang dengan media wayang pappa dengan diiringi arak-arakan saronen dan peraga topeng berjalan dari arah penonton menuju panggung sebagai simbol Buju’ (kuburan keramat seorang tokoh) mengawali pementasan ALALABANG. Dalang mulai menceritakan seorang tokoh yang bernama Kyae Barumbung mempunyai santri bukan manusia tapi Mothak Potte (Kera Putih), yang disuruh menjaga perkebunan timun (di daerah Rubaru kabupaten Sumenep memang dikenal sentra perkebunan mentimun). Mothak potte itu menjaga perkebunan mentimun milik kyai Barumbung karena setiap malam banyak mentimun yang dicuri. Dengan nasehat sang kyai dan kepandaian sang mothak, mentimun itu dicat dengan kapur sehingga dimalam hari mentimun itu memantulkan cahaya rembulan sehingga selalu kelihatan oleh sang mothak. Dan Kyai barumbung pun memuji kesetiaan dan kecerdasan mothak sehingga semua ilmu yang dimiliki oleh sang Kyai diturunkan kepada mothak potte, dan suatu hari mothak tersebut menjelma menjadi Hanoman.

Dimulailah pementasan fragmen Cerita Ramayana dengan topeng dhalang sebagai salah satu acara rangkaian rokat bhuju’ tersebut dengan cerita hanoman yang diutus oleh Rama untuk mengambil Dewi Shinta yang direbut oleh Rahwana. Dan dibantu oleh oleh pasukan kera akhirnya dewi Sinta dapat dikembalikan ke pangkuan Rama oleh Hanoman. Diakhir pertunjukan semua peraga berarak-arakan kembali dengan diiringi musik saronen keluar panggung untuk “ngalalabang” lagi. Pertunjukan ALALABANG menggunakan konsep pertunjukan pada saat dulu dimana seni tradisional mengamen dari pintu kepintu atau dari bhuju ke bhuju’ sebagai sarana upacara ritual. Namun kali ini dikemas ke wilayah panggung sebagai seni pertunjukan.

ALALABANG 1 karya Agus Suharjoko ini telah mengikuti beberapa ivent dan sebagai penyaji terbaik dari Festival seni Pertunjukan se Jawa Timur 2006 di Malang, Festival seni tradisi lisan se Jawa di Jogyakarta 2007, festival seni tradisi lisan se Asia di Taman Ismail Marzuki 2007, apresiasi pertunjukan tradisi lisan bagi pelajar di SMU Muhammadiyah Jakarta dan sebagai duta seni propinsi Jawa Timur pada Pesta Kesenian Bali 2007 di Art Centre Denpasar-Bali. Dengan didukung oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kabupaten Sumenep, Lembaga Tanah Kapur dan Komunitas Teater SMANSA.
Tim Produksi :
Sutradar : Agus Suharjoko, S.Sn.
Penata Musik : Akhmad Darus
Penata Artistik : Agus Suharjoko, S.Sn.
Pemain : Resi Eka Yuliana, Eka Fitria Sari, Fitri Indah Kadaryanti, Beladona, Nency Puspita Sari, El Fatmala dan Rukun Pewaras(by. agus teater)