Rabu, Juni 25

"TAO TENGGU DIBI’": GADO – GADO YANG TERPELESET DALAM MONOTONITAS

Komedi adalah sebuah lelucon yang seringkali mengolok-olokkan diri sendiri atau kenaifan orang lain. Ada kalanya komedi dengan melakukan kesalahan pengucapan atau keseleo lidah, sehingga membuat tertawa. Komedi dalam film lebih leluasa karena bias mengeksplor gerak dan sutuasi. Namun bukan hal mudah untuk bisa membuat sebuah film yang membuat penonton tertawa, karena bisa-bisa komedi alur komedi yang ditawarkan bisa ditebak penonton, sehingga tak lagi ada surprise dan terasa hambar.

Apa yang ditawarkan dalam film pendek “Tao Tenggu Dibi’” produksi Chem_Fact Production kelas X-8 memberikan kejutan dengan pengambilan gambar yang bagus dan jalan cerita yang runtut. Joe si tokoh yang kekanak-kanakan, sudah remaja tetapi kelakukannya seperti anak kecil – suatu gangguan mental, namun dia bersekolah di SMA pada umumnya. Tawaran-tawaran lelucon yang berlangsung antara tingkah Joe dengan ayahnya yang kadang bertindak konyol, dengan ide segar sembari ,enyerempet pada petuah-petuah tradisi lokal yang harus dipertahankan.

Cerita terus mengalir pada penemuan sebuah peta yang kemudian dilanjutkan dengan petualangan untuk melacaknya, dan menemukan harta karun. Namun di sini lagi ternyata peta yang ditelusuri merupakan tempat Joe bersemadi. Mereka kemudian bersama-sama tidak menemukan apa-apa. Namun dengan gembira kembali ke rumah. Sodoran cerita yang cukup menarik dengan impian-impian ala remaja yang khas. Namun tayangan ini agak terganggu saat menyodorkan tayangan dalam kelas yang tidak mungkin ditemukan realitasnya, sementara dari awal kisah dimulai amat dekat dengan realitas. Saat kreator ingin mengangkat potensi budaya lokal, secara frontal mengolok-olok guru dalam ruangan kelas, sementara dalam konteks budaya lokal guru merupakan salah satu tugas yang dimulyakan. Artinya jika ingin mengangkat budaya lokal, maka banyak peluang yang bisa dijadikan bahan lelucon, tidak harus guru seperti pada tayangan lelucon di televisi atau sinetron. Bukankah tayangan televisi banyak dikritik karena tidak mengandung unsur edukatif? Sayang memang!!!

Tetapi secara kreatif, banyak hal yang dapat diungkap dalam film ini. Judul film menggunakan bahasa Madura yang secara eksplisit menyerahkan kepada penonton untuk mencarfi sendiri makna yang disodorkan. Nyatanya memang tidak ada makna berarti dalam tayangan ini. Ini sebuah kreatifitas yang mengajak penonton untuk melepaskan beban, tanpa harus mengerutkan kening untuk memahaminya. Cuma, beberapa adegan saat melakukan penelusuran peta harta karun, para pemain bukan seperti melakukan petualangan yang mendebarkan. Ekspresinya lagak tengah berakreasi yang tanpa beban berat untuk menemukan letak peta yang tengah ditelusurinya.

Ayo terus berkarya, jangan pernah berhenti. Karya terbaik adalah yang belum kita buat, sehingga harus segera dibuat. Sebab, karya yang telah dibuat akan selalu ditemukan kekurangannya. Salam kreatif, sampai jumpa pada kesempatan yang lain. (Hidayat Raharja)

KAMPUNG KARDUS, MENYABET 2 PENGHARGAAN

Inilah untuk kesekian kalinya komunitas teater SMANSA ( KaTeS) menyabet prestasi tingkat Jawa Timur dalam rangkaian acara Fragmen Budi Pekerti Pelajar Se- Jawa Timur 2008 yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur yang bertempat di Lawang 28-29 April 2008. Dengan membawa pulang penghargaan sebagai Penyaji terbaik non-ranking dan Penulis Naskah Fragmen budi pekerti, rombongan Tim Kesenian dari Kabupaten Sumenep ini sudah berulangkali mewakili Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep dengan segudang prestasi kesenian diantaranya ; pada Pekan Seni Pelajar 2003 (di Banyuwangi), 2005 (di Madiun), 2007 (di Surabaya) dan pada Festival Fragmen Budi Pekerti 2006 (di Ponorogo), 2007 (di Batu-Malang) dan 2008 (di Lawang).

Dinginnya malam diarea tempat berlangsungnya festival fragmen Budi Pekerti, tepatnya di wisma SLB Lawang, rombongan dari Sumenep tiba ditempat tujuan dengan selamat sekitar pukul 23.30 Wib. Rombongan langsung menuju auditorium yang esok harinya tempat untuk beradu kreativitas. Kami melangsungkan Bloking panggung dan sekitar jam 2 dini hari rombongan baru sempat istirahat di kamar yang sudah disediakan oleh panitia dari Dinas Pendidikan Kab. Sumenep. Kasie. Seni Budaya juga ikut serta dalam rombongan tersebut dan sangat memberikan perhatian kepada rombongan Duta Seni Kabupaten Sumenep (Kates).

Musik kotekan yang berasal dari barang-barang bekas dari Tempat Pembuangan Akhir Sampah di daerah Batuan-Sumenep, mengiringi Siti untuk berangkat ke sekolah, ia ngedumel karena tidak diberi uang jajan sama emaknya dan disuruh berpuasa lagi, sampai-sampai dari mulut mungilnya keluar kalimat “masak puasa bisa bikin orang pinter ?!”, dialog inilah yang memulai rangkaian cerita dari awal sampai akhir garapan teater dengan lakon Kampung Kardus, yang disutradarai oleh Agus Suharjoko. Musik kotekan dengan penonjolan irama sampakan menjadi olah garap yang mewakili setting Kampung kumuh ditengah-tengah timbunan sampah. Tokoh-tokoh yang hadirkan di atas panggung mewakili orang-orang pinggiran yang terhimpit oleh beban ekonomi, penyakit sosial dan seabrek kepentingan politik. Tema inilah yang menjadi pilihan sutradara untuk garapan kali ini karena melihat kondisi terkini ditengah-tengah masyarakat yang semrawut oleh lalu lintas kepentingan penguasa dari tingkat RT sampai tingkat Nasional.

Pada adegan terakhir seorang kontraktor (Wisnu) mengucapkan kalimat “ Pak Carik dan Pak Lurah, memang pejabat yang teladan”, setelah pak Carik (andy) dan pak Lurah (Dedy) berhasil mengingkari janjinya kepada penghuni kampung kardus dengan segepok janji dan tanah milik mereka menjadi kawasan real estate yang dibangun oleh kontraktor dari kota tersebut. Janji hanyalah janji dan tetap rakyatlah yang menderita. Sehingga rakyat menangis, menjerit dan melolong hingga pentas redup dari cahaya panggung.

Konsep garap yang ditawarkan oleh sutradara kali ini juga tidak terlepas dari muatan lokal dengan mengambil ide garap dari teater tradisional topeng dhalang serta dengan kearifan lokal yang tertuang pada tema-tema minor yang dilontarkan melalui dialog-dialog spontan, segar dan lugu. Pada garapan kali ini didukung oleh :
Sutradara : Agus Suharjoko dan Penata Musik : Akhmad Darus
Pemain : Dedy Fauzan, Andy Rahman, Wisnu Jati, Fery, Muhyidin, Sinta Rustria, Nadia Kamila, Rina Nufailli, Siti Halifah, Widiyati Rukmana, Biladina. (by. Agus teater)

Selasa, Juni 24

DARI PERSOALAN KESEHARIAN SAMPAI PERSOALAN DI LUAR JANGKAUAN

CATATAN KECIL DARI RESITAL 3 TAHUN 2008
DARI PERSOALAN KESEHARIAN SAMPAI PERSOALAN DI LUAR JANGKAUAN

Tujuh flim pendek telah ditayangkan dalam acara resital 3 smansa tahun 2008. Film-film yang banyak berbicara mengenai kaum muda dengan kesehariannya. Persoalan-persoaln yang paling dekat samppai pada persoalan-persoalan di luar akal sehat. Cukup menarik ide-ide yang ditawarkan, namun kadang ide baik tersebut terbelenggu oleh waktu yang disediakan demikian pendek, sehingga umumnya banyak muncul gambar minim dialog, laksana sebuah film musikal cerita dituntun oleh lagu musik yang melatari. Secara kreatif, mereka sudah mampu menyiasati keterbatsan fasilitas, walau kadang cerita yang dipaparkan amat datar, dan penuh guyonan menertawakan diri sendiri atau orang lain.

Dari apa yang saya saksikan selama sepekan resital smansa, ada beberapa catatan yang cukup menarik untuk diutarakan;
Pertama, penggalian nilai-nilai budaya lokal amat bagus, karena dapat menjadi jalan sebuah revitalisasi ditengah gempuran budaya global. Dalam mengangkat budaya lokal diperlukan sikap kritis sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap perubahan. Artinya tidak semua budaya lokal harus dipertahankan, karena sudah tak memberikan lagi pada kontribusi pada hidup kekinian, tidak ada salahnya meninggalkan tradisi lokal, sebagai dinamika peradaban yang lebih kondusif.
Kedua, parodi dunia pendidikan, beberapa tayangan mengambil latar belakang yang sama, suasana kelas dan guru sebagai obyek lelucon, dan bahkan dengan keterlaluan ada adegan guru yang dielus-elus, pundaknya karena guru tertidur di kelas pada saat ulangan membuat sussana kelas jadi gaduh. Atau guru yang ditinggalkan muridnya di dalam kelas dan dijadikan bahan olok-olok murid-muridnya tanpa rasa bersalah.
Ketiga, mengangkat budaya lokal dlam aneka persoalannya tidak bisa sekedar membayangkan dan menurut persepsi pribadi tetapi perlu dilatari olehs ebuah riset yang memadai sehingga apa yang kita buat bisa memberikan nilai positif bagi perkembangan kebudayaan.
Keempat, persilangan budaya lokal dengan budaya asing seperti penggunaan bahasa lokal dalam dialog dan judul film mempergunakan bahasa Inggris. Sebuah penanda bahwa anak-anak muda smansa tak canggung lagi untuk mempergunakan bahasa asing dan meleburnya dengan bahasa lokal. Menegaskan bahwa globalisasi telah mampu menjebol batas-batas wilayah, negara, ras, agama, dan kebangsaaan.

Namun begitu saya merasa bangga dengan keberanian anak-anak muda smansa untuk berbuat dan membuat sebuah cerita dalam film, sebuah fiksi yang sebenarnya juga tidak steril terhadap realitas. Artinya bagi kita semua sebuah film dapat merupakan gambaran dari dunia nyata yang diolah ke dalam fiksi. Sehingga sepedas apa pun kritik yang disodorkan, adalah sebuah keinginan untuk melakukan perubahan. Namun, yang perlu juga diperhatikan pada saat kita menyalahkan orang lain, maka sebenarnya diri kita harus lebih hati-hati untuk tidak melakukan kesalahan. Pada saat kita mengolok-olok orang lain lebih bijaksana kalau kita mengolok-olok diri kita sendiri. Karena diri kita dapat menjadi cerminan orang lain. Juga orang lain yang kita olok-olok bisa-bisa itu mengenai diri kita sendiri. (Hidayat Raharja)

PENUTUPAN RESITAL III - 2008

PENGUMUMAN HASIL RESITAL III – 2008
DALAM LOMBA PAMERAN MADING, IKLAN, POSTER PHOTOSHOP, PAMFLET FILM DAN FILM PENDEK


Acara penutupan RESITAL III - 2008 berlangsung dengan sangat meriah dan pada kesempatan ini Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep menutup secara resmi kegiatan"RESIATAL III - 2008" yang diselenggarakan oleh Ekskul Cinematografi. kegiatan ini merupakan program tahunan Ekskul Cinematografi yang sudah berjalan tiga tahun ini.

Pada acara Penutupan Resital ini, H.Mohammad Rais, S.Pd,M.Si., Kegiatan Resital ini merupakan kegiatan yang positif dimana kreativitas siswa dapat tersalurkan dan Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep mendukung penuh agar pelaksanaan Resital ini dapat berjalan dan nantinya dapat dikembangkan ke sekolah-sekolah di kabupaten Sumenep. Hendaknya kegiatan ini menyentuh ke sekolah-sekolah lain dan dapat dikemas lebih baik sehingga nantinya dapat digelar di Pendopo kabupaten Sumenep, "kata H. Moh. Rais pada acara penutupan RESITAL III-2008 yang diselenggarakan di AULA SMA Negeri 1 Sumenep.

Pada kesempatan itu pula H. Moh. Rais didampingi kepala SMA Negeri 1 Sumenep, sempat melihat-lihat pameran poster photoshop dan sempat melihat langsung pemutaran Film dari kelas X-8 dan menutup acara dengan memberikan piala serta piagam penghargaan kepada pemenang seluruh kegiatan RESITAL tersebut.

Iklan terbaik diraih oleh :
Judul Iklan : Budayakan Membaca
Kelas : XI IIS 2

Mading terbaik pemenangnya adalah :
Juara 1 : Kelas X-7
Juara 2 : Kelas XI IIS 2
Juara 3 : Kelas XI IIA 4
Desain terbaik : Kelas XI IIS 1

Poster terbaik pemenangnya adalah :
Nama : Chairil Djaka Kusuma
Kelas : XII IIS 2

Pamflet Film terbaik pemenangnya adalah :
Kelas : X-1
Dalam film : Street Football

Editor terbaik adalah :
Nama : Ardhi Nugraha
Dalam film : Tao’ Tenggu Dhibi’

Kameraman terbaik adalah :
Nama : Syafrisal Akhzan
Dalam film : Tao’ Tenggu Dhibi’
Kelas : X-8

Penata Artistik terbaik adalah :
Dalam film : Tarian Di Ujung Derita
Kelas : X-7

Skenario Film terbaik adalah :
Dalam film : Songennep Culture
Kelas : X-5

Aktris terbaik adalah :
Nama : Windia Rahmanda Sari
Dalam film : Tarian Di Ujung Derita
Kelas : X-7

Aktor terbaik adalah :
Nama : Slamet Munshi Dian P.
Dalam film : Tao’ Tenggu Dhibi’
Kelas : X-8

Sutradara terbaik adalah :
Nama : R. Arita Rianti
Dalam film : Jaka Apes
Kelas : X-6

Film Pendek Pelajar terbaik adalah :
Dalam film : Trio T
Kelas : X-4

Video Klip terbaik :
Kelas : X-8

Minggu, Juni 22

“TARIAN DI UJUNG DERITA”; TRAGIKA HIDUP PENARI JALANAN

Kadang hidup tidak seperti yang dibayangkan. Banyak di sekitar kita yang kurang beruntung, sehingga mereka untuk makan hari ini, mencari nafkah hari itu juga. Sebuah kehidupan pahit dalam sebuah keluarga, seringkali membuat seorang anak mencari nafkah untuk biayai diri dan keluarganya. Kondisi keluarga yang banyak ditemukan pada mereka yang terbelit dalam kemiskinan. Kepapan inilah yang kadang membuat seseorang frustasi sehingga terjerat ke dalam arena judi dan mabok minuman keras untuk keluar dari permasalahan keluarga yang demikian getir dan menyakitkan.

Tarian di Ujung Derita (TdUD) film pendek yang disutradarai Mia Ayudis S. H kelas X-7 menawarkan salah satu sisi kehidupan remaja dengan tokoh Sri yang kurang beruntung karena berada dalam keluarga broken home. Ayahnya seorang pemabuk dan ibunya seorang buruh cuci. Untuk membiayai pendidikannya Sri harus mengamen dengan menari sepanjang jalan dari satu toko ke toko berikutnya untuk bisa membiayai hidupnya. Kisah ini amat menarik ketika Sri diusir ayahnya dari rumah, karena tidak mau memberikan uang hasil ngamen kepada ayahnya yang butuh untuk membeli minuman keras. Kehidupan beralih ketika Sri akhirnya hidup di kolong dengan dinding dan lantai kardus.
Percintaan, dan persaingan sesama teman cewek satu kelas. Sebuah bumbu cinta yang ghalib sering ditemui dalam sinetron TV. Namun nasib tragis menimpa Sri saat ngamen di pinggir jalan tertbrak sepeda motor. Sri akhirnya meninggal dunia.

Nilai-nilai yang cukup menarik dalam tayangan TdUD antara lain; pertama, perjuangan seorang anak untuk melanjutkan pendidikannya dengan ngamen – menari dari satu tempat lain. Sebuah perjuangan hidup yang menggambarkan kemandirian dan keberanian untuk menjalani hidup yang penuh tantangan dan jerat kemiskinan yang menyakitkan. Sehingga seringkali anak-anak tidak mampu secara ekonomi dipandang tidak berguna bagi orang lain. Betapa mulia Sri yang tidak mau merep[otkan orangtua untuk membiayai sekolahnya. Betapa tabahnya Sri saat dilecehkan oleh teman-temannya di kelas, ketika ditunjukkan foto Sri tengah ngamen di pertokoan.
Kedua, seringkali kemiskinan menjadi olok-olok bagi teman-teman kita, tanpa pernah belajar untuk menghargai perjuangan hidup dan menjalani hidup dengan tabah. Sri sosok yang cukup gigih berani hidup sendiri untuk melanjutkan cita-citanya. Sebuah gambaran bagi semua, masih banyak di antara teman-teman kita yang kurang mampu secara ekonomi, butuh kepedulian bersama.
Ketiga, bahwa ketetapan tuhan adalah adil, yaitu saat ayah Sri mengalami stroke setelah tahu Sri yang diusirnya dari rumah meninggal karena kecelakaan.

Disamping kelebihan-kelebihan yang disodorkan dalam TdUD, film ini terasa amat datar dan hal ini karena kurangnya riset yang dilakukan oleh tim keratif, pembuat skenario. Pertama, proses mutasi tak segampang yang digambarkan karena harus ada rekomendasi dari sekolah yang akan menerima dan keterangan dari sekolah yang akan melepasnya. Kedua, betapa gampangnya hidup Sri saat ngamen selalu saja yang di datangi memberikan uang. Pada hal, kenyataannya masih banyak yang membuang muka ketika didatangi pengamen. Mereka yang usil melakukan pelecehan, sehingga membutuhkan ketangguhan sendiri bagi pengamen tari di jalanan. Ketiga, Betapa musykil seseorang dari keluarga miskin yang kekurangan minggat ke kota menacri tempat kos yang agak bagus. Dan aklhirnya Sri hanya bisa hidup di kolong jembatan beralas dan berdinding kardus.

Namun yang sangat menggembirakan karya film TdUD; jalan penceritaan cukup menarik, untuk mengangkat perjuangan seorang siswi di tengah kemiskinan, menari untuk membiayai hidupnya. Aku yakin waktu kelak yang akan menentukan kreativitas kalian. Jangan pernah berhenti untuk berkarya. Jangan pernah berhenti untuk terus menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman. Kelak, kalian akan membuat yang lebih bagus lagi. Aku tunggu...!(Hidayat Raharja)

“JAKA APES”: LELUCON BURAM DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Dunia pendidikan merupakan sebuah dunia yang sangat menarik untuk disorot dan ditelaah oleh siapa pun. Bila seorang pengusahan memasuki, maka dunia bisnis akan bergerak di dalamnya. Jika para pendidik mengarung di dalamnya, maka idealisme sebuah lembaga pendidikan akan drencanakan dan diselenggarakan menurut prasyarat-prasyarat dan ketentuan bagaimana layaknya lembaga pendidikan diselenggarakan dan bisa memberdayakan orang-orang yang ada di dalamnya. Akan tetapi akan berbeda jika siswa yang ada di dalam lembaga pendidikan menyuarakan diri dan keinginannya.

Saat siswa berbicara mengenai pendidikan banyak pihak yang memandang sebelah mata terhadap apa yang diutarakannya. Siswa tidak pernah menemukan ruang yang bisa mendengar keluhan dan kebuntuannya. Lewat dunia gambar atau Film Pendek mereka mencoba berkspresi untuk mengungkapkan kegelisahan dan kreativitasnya. Ketika mereka menyuarakan dirinya sendiri dan lingkungannya, banyak hal yang menarik untuk disimak. Karena apa yang diutarakan dalam film yang mereka, tidak akan pernah terlepas dari realitas konkret yang dialaminya.

Jaka Apes” sebuah film pendek garapan siswa-siswi kelas X-6 yang memparodikan diri-sendiri dan dunia pendidikan. Apes! Inilah nasib yang dialami Jaka, dan teman-temannya. Jaka bisa saja gue, loe ato kita! Bagaimana Jaka yang miskin, katrok, memelintir diri untuk keluar dari nasib buruk yang membelit menjadi bahan tertawaan segar. Meski parodinya bukan merupakan hal baru, namun cukup memikat dan menarik untuk memasuki ke dalam relung-relung dibalik gambar gerak yang ditayangkan. Jaka membanyolkan diri lewat kemiskinan yang membelit untuk keluar dari kepahitan yang menguntitnya. Lelucon menertawakan diri-sendiri: terpeleset, sepatu tercebur kubangan, sampai nyuri sepatu yang “salah kelamin” sebelah sepatu laki-laki dan pasangannya luput pada sepatu wanita. Kegetiran yang menjadi bahan tertawaan. Rasa getir itu diperkuat dengan matinya ibu si Jaka, membuatnya kemudian ia hidup sebatang kara menjalani nasibnya.

Menikmati film pendek “Jaka Apes” produksi anak-anak X-6 ini amat menarik untuk disimak dibalik lelucon yang mampu menarik sudut mulut untuk terbuka, alias tertawa.Kreatifitas yang mampu mengolah sebuah lelucon menjadi sebuah kritik segar tanpa harus menyakiti. Tidak dapat dipungkiri bahwa kelas yang tampil dalam cerita adalah rekaan. Namun, harus dipahami bahwa realitas dalam fiksi (film) tidak pernah terlepas atau steril dari realitas sesungguhnya. Realitas film (fiksi) selalu berhubungan dengan pengalaman yang pernah dicecap dan dirasakan oleh kreator, sebagai penggagas cerita. Film ini tidak sepenuhnya terlepas dari kehidupan belajar siswa.

Pertama,betapa anak-anak sekolahan sudah sangat terbiasa dengan aktivitas contekan atau melakukan kecurangan pada saat ulangan untuk mendapatan nilai yang baik. Mereka melakukan tanpa ekspresi rasa bersalah dan semua berlangsung dengan sangat datar dan tenang. Sebuah gambaran hilangnya idealisme di dalam diri anak-anak kita. Sebuah kehilangan karena, sudah sulit menemukan ketauladanan dalam dunia persekolahan. Atau karena tidak ada aturan dan etika yang jelas terhadap segala sesuatu yang ada dalam sekolahan.

Kedua, guru sebagai pendidik sepertinya telah kehilangan spirit dan energi sebagai pendidik, kecuali sebagai tenaga pengajar yang mentransformasikan materi (keilmuan) dan memberikan nilai sebatas yang terukur di atas kertas. Dalam “Jaka Apes” hukuman fisik yang diberikan guru tidak mampu mengubah perilaku anak dan masih mengulangi kembali kesalahannya di belakang guru. Hukuman tak mampu mengubah perilaku. Kenapa? Karena guru dalam “Jaka Apes” tidak mencari latar belakang siswa melakukan pelanggaran, nyontek dan ngerpek saat ulangan berlangsung. Jaka Apes dan Csnya, melakukan kecurangan karena ada kesempatan untuk melakukannya, di saat Guru menerima panggilan Handphone keluar dari dalam ruangan kelas. Haaa...haaa.. bu guru Jaka Apes, barangkali tergolong kepada orang-orang berduit yang mampu membeli teknologi tetapi tidak memahami etika dan filosofinya. Apes memang, hahahaaaaaa.....!

Satu sudut kecil diteropong “Jaka Apes” merupakan sebuah umpan-balik (feedback) bagi dunia pendidikan wakhususan dunia persekolahan. Perhatian untuk arif dan bijak dalam memahami siswa-siswinya. Serta keteladanan yang baik para pendidik dan pembina untuk memanfaatkan teknologi secara bijak dan benar.

Di negara-negara maju, tidak dibenarkan menggunakan pesawat handphone dalam ruang formal: sidang, seminar, pembelajaran, dan semacamnya. Semua handphone harus dalam keadaan off, keculai boleh on tapi mematikan nada dering, sehingga ketika ada panggilan tidak menimbulkan bunyi yang mengganggu orang lain. Nah, disinilah barangkali pentingnya etika dan tatanan aturan yang jelas.

***

Film “Jaka Apes” sedikit lebih maju bila dilihat pengambilan adegan dalam kamera, dan proporsional. Kritik-kritiknya lewat banyolan, tajam namun tidak menyakitkan. Selamat buat anak-anak X-6. Terus berkarya. Jangan lupa belajar, karena karya tanpa dilatari kekampuan intelektual yang bagus hanya akan terombang-ambing di kulit permukaan. Takkan pernah menemukan dalamnya keindahan dan makna kehidupan. Good Luck! (Hidayat Raharja)

Sabtu, Juni 21

TARIAN DI UJUNG DERITA

Sinopsis

Sri seorang gadis yang masih duduk di bangku SMA memiliki bakat dalam bidang tari. Sri hidup dalam lingkungan keluarga yang kurang harmonis, ayahnya seorang pemabuk dan ibunya seorang buruh cuci. Suatu hari saat Sri pulang dari latihan menari Sri mendapati Ayahnya sedang menganiaya Ibunya hingga Ibunya meninggal, hanya karena tak diberikan uang untuk membeli minuman keras. Pada saat Sri akan menanyakan tentang apa yang sebenarnya terjadi Sri malah dimarahi oleh Ayahnya dan menyalahkan Sri karena dia tidak memberikan uang hasil menari pada Ayahnya sehingga Ayahnya mencelakai Ibunya. Karena itu juga akhirnya Sri diusir oleh Ayahnya dan pergi ke kota untuk melanjutkan hidupnya di sana.

Di kota Sri berusaha menafkahi hidupnya sendiri dengan menari dari satu tempat ke tempat yang lain (mbarang) , ia juga melanjutkan sekolahnya di sana. Di sekolah barunya Sri bertemu dengan Indra, teman sekelasnya di sekolah yang baru. Ternyata Indra menyukai Sri dan sebaliknya. Namun ada sebagian tenam baru Sri yang tidak menyukainya, mereka adalah Novi cs, mereka tidak menyukai Sri karena mereka menganggap Sri sebagai anak kampung dan dirinya adalah anak kota.

Saat seperti biasanya setelah pulang sekolah Sri mulai menari dari satu rumah kerumah yang lain, pada saat itu pula Indra sengaja mengikuti Sri untuk menyatakan cintanya. Pada saat Sri sedang menari di depan sebuah rumah di pinggir jalan, Indra menghampirinya di seberang jalan, ia membentangkan sebuah kertas besar yang bertuliskan kata I LOVE YOU yang di tujukan pada Sri. Saat Sri melihat Indra daan tulisan di kertas itu Sri hanya tersenyum malu. Tiba tiba sebuah sepeda motor menabraknya hingga ia terjatuh dan terluka. Indra yang melihat kejadian itu langsung berlari dan menghampiri Sri yang terkapar di jalan. Saat Indra berada di dekatnya Sri menitipkan sebuah kantung yang berisikan uang hasil kerja kerasnya menari untuk diberikan pada Ayahnya di desa, lalu setelah itu Sri menghembuskan nafas terakhirnya.

Setelah kematian Sri, Indra menyampaikan pesan yang ditinggalkan Sri padanya, iapun pergi ke desa untuk memberikan kantung uang Sri. Sesampainya di desa Indra mendapati ayah Sri sedang melangsungkan pernikahan dengan wanita lain. Indra yang mengetahui hal itu langsung memotong acara dan menenui Ayah Sri dengan marah, ia memberikan kantong uang Sri dan mengabarkan padanya tentang kematian Sri. Ayah Sri yang mendengar berita itu sangat terkejut dan mengalami struk. Penyesalan memang datangnya saat setelah kejadian dan……… (yuk liat bareng jalinan ceritanya di film X-7, aula smansa-22 juni 2008)

Susunan Tim Produksi :

Pimpinan produksi : M. Indra Pratama W.
Sutradara : Mia Ayudis S. H
Assisten Sutradara : Novia Citra P.
Kameramen : Aditya Kusuma W.
Assisten Kameramen : Melvin Setiadharma
Editor : Aditya Kusuma W.

Penata Artistik : 1. Jenny Faradillah S.
2. Nurul Komari
3. Rizqi Fitri F.
Penata setting : 1. Rhesa Dwi A.R
2. Nur Layla
Penata kostum : 1. Inayatul Wahidah
2. Syarifah Nur F.
Penata rias : 1. Nurul Fitri R
2. Riski Amelia
Penata musik : 1. Lusi Anisa T.
2. M. Indra Pratama W.
Lighting : Khosmin.

PARA PEMAIN :

Windia Rakhmanda Sari P. sebagai Sri Maryati
M. Indra Pratama W. sebagai Indra
Nurul Fitri R. sebagai Ibu Sri
Mada’I Pandu W. sebagai Bapak Sri
Lusi Anisa T. sebagai Novi
Mas’odi sebagai Pak Churrilagi
Nadiyah Masitha Sani sebagai Shinta
Melvin Setiadharma sebagai Anto

MENGENANG PERNIKAHAN DINI DALAM SONGENNEP CULTURE

Songennep asal kata Sumenep memiliki catatan sejarah san budaya yang panjang, 737 tahun lebih. Sebuah masa, tentunya banyak melahirkan dinamika budaya dan kearifan yang patut untuk digali, revitalisasi untuk dapat diaktualkan di saat kini. Namun sisa peradaban yang banyak memiliki keburukan dan tak sesuai dengan hidup kekinian, tentu harus ditinggalkan.

Salah satu kebiasaan di masyarakat Madura pada uumnya di masa silam, yaitu menjodohkan anak-anaknya di saat usia kanak-kanak, bahkan ada seorang anak sudah dijodohkan saat masih berada dalam kandungan. Misalnya: “Fulan jika anak yang kukandung nanti lahir laki-laki dan anak yang kau kandung nanti lahir perempuan, maukah nanti anak kita dijodohkan.” Sebuah akad yang dilakukan sebelum sang anak dilahirkan, dan jika benar jenis kelamin di antara keduanya berbeda, maka perjodohan itu akan dilangsungkan.

Pernikahan usia dini, memiliki catatan sejarah yang cukup beragam di negeri ini. Hampir di setiap daerah di Indoensia memiliki kisah mengenai pernikahan di usia dini, dengan tata cara yang berbeda pula. Jika pada saat ini banyak pernikahan dini dilaksanakan karena mengalami kasus BUDe (Bunting Duluan), kecelakaan seksual sebelum penikahan. Namun di masa silam, perjodohan dan pernikahan di usia belia dan dipilihkan orangtua, adakalanya karena mereka ingin mengikat tali kekeluargaan antara kerabat supaya mengeratkan kembali hubungan keluarga yang mulai menjauh. Pernikahan usia dini bisa dilakukan karena hutang budi terhadap suatu keluarga. Atau juga antar kedua orangtua sudah mengenal latar belakang keluarga masing-masing, untuk meneruskan keturunan yang baik mereka menjodohkan anknya dengan seseorang yang sudah dikenal baik garis keturunannya, Bibit, bebet, dan bobotnya.

***

Apa yang disodorkan oleh kelas X-5 dalam film pendek “ Songennep Culture” (selanjutnya; SC) cukup menarik untuk disimak. Sebuah upaya untuk mengungkap kembali perkawinan di usia dini atau perjodohan terhadap anak-anak di usia kanak. Sebuah tradisi yang saat itu banyak dilakukan hampir di setiap daerah di kawasan Madura. Maka, anak-anak perempuan di desa saat itu sejak kecil sudah dipersiapkan untuk memasuki lembaga pernikahan. Mereka diajari untuk bisa mengerjakan dan mahir mengurus rumah tangga;memasak, melayani suami, atau persiapan untuk pengasuhan anak. Proses pendewasaan sehingga mereka siap memasuki lembaga pernikahan.

Penceritaan yang dijalin dalam SC cukup menarik, Udin yang berasal dari desa bersekolah ke kota untuk menempuh cita-cita. Sebuah keinginan yang lumrah untuk meningkatkan pendidikan dan kualitas SDM, namun suatu ketika calon mertuanya datang menyusul dan mengharuskan Udin kembali ke desa, untuk menikah dengans eorang perempuan yang telah dijodohkannya. Di situ kisah mengalir balik flashback ke masa-masa saat perjodohan dilakukan.

Hal yang sangat menarik dari film ini, adalah mengenang kembali perjodohan di masa kanak-kanak yang banyak terjadi di masyarakat desa di daerah Madura. Sebuah tradisi masyarakat yang jika dipandang pada saat ini, merupakan sesuatu yang aneh. Di saat anak-anak muda atau generasi Madura yang kian terbuka menerima perubahan dan di saat pendidikan telah merambah ke berbagai pelosok desa, telah menyadarkan masyarakat untuk menempuh pendidikan. Artinya ketika mereka menempuh pendidikan ke yang lebih tinggi serta merta menunda usai perkawinan di usia muda. Jadi jika film SC dibenturkan pada kondisi kekinian hal itu, sangat berseberangan dengan kenyataan kini. Anak-anak muda Madura sudah enggan melakukan pernikahan dini, dan menolak untuk dijodohkan oleh orangtuanya. Kalau pun ada di beberapa desa, pendidikian masih tetap menjadi salah satu pilihan untuk memperbaiki harkat dan martabat mereka dalam keluarga. Maka tidak berlebihan jika tidak semua tradisi harus selalu dilestarikan, ada kalanya yang memang berbenturan dengan kekinian, harus ditinggalkan, untuk menjadi sebuah kehidupan yang lebih baik. Sebuah dinamika budaya akan berkembang di tengah sesaknya perubahan di setiap jaman, dan yang mampu adaptif dan relevan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, akan terus eksis.
Maka, tak berlebihan jika hadirnya film pendek SC merupakan sebuah upaya pendokumentasi masa lalu, dan perlu dipertimbangkan untuk terus dihidupkan di masa sekarang. Good Luck! (Hidayat Raharja)

MENCARI JALAN MENUJU RESITAL

Proses kreativitas tak dapat dielakkan, ia bagaikan air embun yang membasahi bulir-bulir padi yang menguning di tengah persawahan. Serentak menjajaki kemungkinan-kemungkinan ide-ide yang muncul setelah mendengarkan lagu para pencarimu dari kelompok band Ungu. Lagu inilah yang dijadikan dasar proses kreativitas dari delapan video klip yang diproduksi oleh siswa kelas X-1 sampai X-8. Tema yang dimunculkan dalam alur cerita sangatlah beragam dan itu artinya bahwa masing-masing kelas menawarkan alur cerita dengan proses penjelajahan atau petualangan imajinasi yang berbeda (walaupun ide garapnya satu). Mereka menonjolkan tema tentang kenakalan anak terhadap orangtuanya, kenakalan remaja yang kehilangan jati dirinya karena kurangnya mendapatkan perhatian dari orang tua, bumpetnya kepala untuk menerima setumpuk pelajaran di dalam kelas, putus cinta karena kekasih tersayang meninggalkan dirinya dan banyak lagi tema-tema yang mereka tawarkan kepada penonton.

Setiap malam pada acara resital 2008 ini, dihadirkan penayangan Iklan dari kelas XI Sosial, Video Klip kelas X hasil karya pada saat semester 1 dan pemutaran film dari kelas X. Penonton sangat berjubel memenuhi kursi yang disediakan oleh panitia produksi dari masing-masing kelas, karena setiap harinya siswa diajak untuk memanajemen sebuah pementasan/pertunjukan. Jadi bagaimana mereka mengelolah manajemen produksi, membuat proposal hingga menghadirkan penonton untuk melihat hasil karyanya. Sesuatu yang sudah dikerjakan oleh siswa-siswi kelas X di SMA Negeri 1 Sumenep untuk belajar dari proses pra produksi, produksi hingga pasca produksi. Sesuatu yang sangat luar biasa dan patut kita banggakan bersama. (**Agus teater)

Jumat, Juni 20

ORKESTRASI PEMBELAJARAN

(Catatan kecil dari RESITAL I – 2006)

Perkembangan dunia teknologi dan informasi telah memasuki berbagai sector kehidupan manusia, dari dunia kanak, remaja, dan dewasa. Segmen teknologi menjadi kebutuhan semua lapisan masyarakat dari berbagai golongan, sehingga perlu diantisipasi dan difasilitasi oleh Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dunia teknologi, informasi dan dunia hiburan berbaur dalam sebuah zona entertaint yang enjoy dan menyenangkan.
Diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi, menuntut sekolah untuk mampu memfasilitasi kebutuhan anak dan potensi kreatif guru untuk mengelola potensi dalam diri anak sehingga bisa mengembangkan kemampuan diri secara optimal. Peristiwa sosial dan lingkungan merupakan sumber pembelajaran kongkret yang perlu difungsikan.Fumgsionalisasi lingkungan alam dan budaya dengan memberdyakan komite sekolah dan Dewa Pendidikan setempat untuk turut memberdayakan potensi yang ada. Namun pada kenyataannya dibukanya peluang untuk meongoptimalkan fungsi muatan lokal, ditafsirkan dengan penambahan jam belajar dan matapelajaran. Seringkali justru menjerumuskan anak pada kondisi stress karena pembelajaran monoton, kurang kreatif, kurang berpihak kepada kebutuhan anak
Sekolah sebagai institusi yang berurusan dengan manusia (anak didik) memiliki peran vital dan signifikan. Ia bisa berfungsi sebagai ruang osisal, budaya, dan pengetahuan yang memperlakukan anak secara manusiawi. Kemajuan teknologi informasi telah menyebabkan pengelola sekolah untuk memiliki dan memanfaatkan ppiranti teknologi informasi yang ada. Pemanfaatan media audivisual sebagai media pembelajaran merupakan hal vital yang membuat guru dan siswa senantiasa adaptif terhadap hadirnya teknologi informasi.
Namun keadaan alam lingkungan dan budaya setempat, juga menjadi penting untuk dimanfaatkan secara optimal sebagai media dan sumber belajar yang akan mendekatkan anak didik dengan lingkungan alam dan budayanya. Dalam lembaga sekolah anak belajar untuk memasuki lingkungan masyarakat yang sesunguhnya. Sekolah sebagai minisocity menjadi lembaga pelatihan social sebelum memasuki realitas masyarakat yang sesunguhnya.
****
Kehancuran alam dengan berbagai bencana alam yang ada memberikan sinyal bagi kita, bahwa pendidikan terhadap alam lingkungan
Rongsokan bangunan berserakan, pakaian yang tersangkut di sisa bangunan dan di reranting pohon. Suasana memilukan dan menakutkan.Ada suasana tangis yang tersangkut di kesunyian yang mengerikan, ketakutan yang mencekam mengingatkan peristiwa yang terjadi setahun lalu. Tsunami, bencana yang melanda kawasan lempeng Eurasia dan menelan ribuan jiwa kembali kepada Sang Khaliq.
Suasana panggung yang sederhana dan memang tak mampu untuk merekam kembali bencana yang melanda umat manusia, tetapi aroma kesunyian itu begitu lekat dan mencekam dalam memori mengenai peristiwa yang pernah terjadi. Suatu upaya dari siswa-siswi SMA 1 sumenep untuk membuka kembali memori yang pernah terekam setahun lalu, ketika semua media dan umat memberikan rasa hormat dan belasungkawa yang dalam. “Renungan Setahun Bencana Tsunami” digagas OSIS SMA 1 bersama dengan guru kesenian – Agus Suharjoko. Acara yang bertempat di aula smansa 26 desember 2005 dimulai pukul 07.00 sampai pukul 09.00 wib diisi dengan renungan bersama, pembacaan puisi karya penyair Aceh – Mustafa Ismail oleh Agoes Suharjoko dan pemutaran video bencana tsunami.
Acara tersebut bukan lompatan yang mengejutkan, memang. Namun acara ini menjadi bermakna ketika yang melaksanakan kegiatan semacam adalah lembaga pendidikan formal yang disesaki oleh materi kurukuler. Suatu proses pembelajaran yang mencoba mengembalikan sekolah sebagai lembaga minisociety, tempat anak belajar bersosialisasi, dan menumbuhkan kepekaan, serta meningkatkan nilai-nilai keimanan. Secara sosial peringatan terhadap momen peristiwa bencana alam, akan menumbuhkan sikap peduli anak terhadap korban bencana, merasakan penderitaan orang lain. Serta mampu mengapresiasi alam lingkungan untuk bias hidup seimbang dan selaras sehingga bias saling memberi dan selamat menyelamatkan.
Secara batiniah akan menumbuhkan kepekaan batin dengan merenungkan kembali peristiwa yang terjadi, bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang ditimpa kemalangan dan membutuhkan bantuan. Nilai yang akan memperhalus budi pekerti dan akan berpengaruh terhadap kepribadian dan dalam hubungan social dengan orang lain. Juga renungan peristiwa tersebut dapat diusung dalam materi pelajaran biologi dengan membahas perilaku alam dan manusianya serta hubungan manusia dengan alam. Dari sisi mata pelajaran geografi dengan membahas perilaku batuan atau lempeng bumi yang melakukan gerakan atau patahan secara periodic dan menimbulkan gempa serta perubahan gelombang laut. Sementara dari sisi nilainilai spiritual peristiwa tersebut merupakan peringatan bahwa ada kekuasaan di luar kekuatan mansusia yang tak dapat dibendung dan disebabkan oleh perilaku manusia. Situasi yang sangat memungkinkan untuk meningkatkan keyakinan manusia terhadap hubungan dengan sesama dan dengan sang Khaliq.
Suatu gerakan lembaga pendidikan yang secara implementatif menanamkan nilai-nilai keilmuan, alam, social, kemanusiaan dan ketuhanan. Sebuah respon terhadap tuntutan perubahan kurikulum untuk memberikan pelajaran yang bermakna. Palajaran yang kongkrit untuk bisa merasakan, mengalami dan menyikapi terhadap peristiwa sosiokultural yang terjadi.
Inilah sebuah orkestrasi pembelajaran dalam kuantum learning, mengelola persoalan dan potensi yang bisa dikembangkan untuk bisa menumbuhkan kemampuan secara optimal. Betapa bahan atau sumber di sekitar kita, persoalan-persoalan kecil yang memiliki keraifan local untuk bisa dikelola menjadi sumber pembelajaran. Belajar tidak cukup dari dalam kelas, dan hanya bersumber dari buku, karena keanekaragaman sumber belajar akan memperkaya kemampuan anak dan menghilangakn kejenuhan belajar. Siswa memang tidak harus menjadi sesuatu yang diinginkan sekolah, tetapi sekolah bisa memfasilitasi kemampuan dan kebutuhan yang ada dalam diri anak, sehingga mareka nantinya dapat berkembang menjadi dirinya sendiri.
*****
Festival sinema antar kelas yang diselenggarakan oleh oleh Agoes Soehardjoko, guru kesenian SMA 1 Sumenep, merupakan langkah progresif untuk mengantisipasi tuntutan dan kebutuhan zaman. Sikap positip yang juga direspon secara antusias dengan dibukanya program ekstrakurikuler “Sinematografi”.
Suatu hal yang amat menarik dalam festival sinematografi SMANSA AWARD I, dengan seleksi sinema terbaik dari setiap kelas yang kemudian dikompetisikan menjadikan sesuatu hal yang patut kita apreasi dan respek dengan segala ketulusan hati. Di sinilah terlihat kecerdasan siswa secara substansial, bahwa pada dasarnya anak yang memiliki kemampuan kognitif kurang baik, memiliki kecerdasan emosional dan imajinatif yang amat memukau. Suatu jawaban atas perubahan pemahaman mengenai penilaian pendidikan yang tidak hanya memandang anak dari satu sudut pandang tapi membutuhkan cara pandang secara komprehensif. Disinilah dapat kita lihat representasi kehidupan siswa dalam mengapreasi lagu “Kisah-Kasih di Sekolah “ karya Obbie messakh yang dilantunkan Chrisye. Ada banyak tafsir mengenang kenangan berkekasih di lingkungan Sekolah. Sebuah dunia remaja yang berbeda dengan dunia guru, disinilah kita memasuki dunia mereka. Dari sebuah lagu yang ditransfer ke dalam sebuah scenario, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa gambar, maka jadilah produksi sinema pendek yang dihasilkan siswa dengan peralatan sederhana dan pengetahuan sinmetografi terbatas. Sehingga atas kurang dan kelebihannya merupakan sebuah prestasi yang patut kita hargai.!
*****
Menyaksikan tayangan video yang diproduksi anak-anak SMANSA, aku menjadi terharu dan terkesima dengan kemampuan mereka menjadi seorang actor, aktris, sutradara, penulis scenario, dalam usianya yang masih belia mampu membuat sesuatu yang berarti. Aku kagum dengan keberanian mereka, melambungkan imajinasi dan meliarkan ide dan benaknya,
Pertama, Cara penceritaan yang memakai alur datar dan flashback
Kedua, pengambilan gambar; tanpa bantuan cahaya lampu, hanya memanfaatkan cahaya matahari yang tanpa diperhitungkan efek-efeknya; posisi pengambilan gambar tidak proporsional; menentang cahaya matahari; penghitungan komposisi dan harmoni, dan ekspresi dalam penjiwaan peran
Ketiga, Pengambilan adegan; ada sebuah tayangan ketika memasuki gerbang Sekolah hanya terlihat barisan anak perempuan, padahal Sekolah yang dijadikan setting merupakan Sekolah umum.
Figuran dalam bis terlihat di terminal, pada hal bisa sudah keluar dari terminal. Seharusnya kejadian ini tidak tampak di layar monitor. Aktris perempuan saat mengejar bis yang akan berangkat ekspresinya tersenyum pada hal mau berpisah dengan kekasihnya yang pulang ke Jawa karena orangtuanya sakit.
Yang lain, ceritanya tentang kisah-kasih indah, tetapi ada sebuah produk yang endingnya kekasihnya meninggal dunia.
Kemmpat, kostum: celana rok biru (SLTP) tetapi bedgenya SMA, baju guru salipan dengan baju safari.
Keunggulan:
Kreatifitas terhadap penafsiran lagu ke dalam scenario, amat beragam menendakan aneka pengalaman yang beragam.
Penyutradaraan cukup bagus
Dengan peralatan sederhana mereka bisa membuat sebuah produksi bagus dengan durasi 4 – 10 menit
Simbolisasi (diksi) gambar:
Adegan bermesaraan di shoot pada kaki, sebuah upaya menyiasati vulgaritas dengan gambar simbolik dengan aneka tafsir yang beragam
Keindahan kenangan dengan shoot langit biru dan kalender untuk menjelaskan tentang masa yang lewat
Bermesraan tak harus bersentuhan seperti yang ditunjukkan adegan perpisahan dengan menyatukan tapak tangan di antara kisi kaca bus.
****
Siswa sebagai subyek merupakan sumber daya yang dapat dioptimalkan kemampuannya, karena adakalanya siswa yang kurang mampu secara kognitif memiliki kecerdasan afektif psikomotorik, dan kecerdasan emosional. Di sini peralatan teknologi informasi tidak sekedar menjadi obyek tetapi dijadikan sarana untuk meningkatkan kecakapan hidup anak, sehingga bisa memiliki bekal hidup ketika kelak terjun ke tengah-tengah masyarakat. Belajar meningkatkan kepekaan social dengan memperdulikan peristiwa-peristiwa social yang terjadi di sekitarnya.
Terutama hal ini menjadi begitu urgen dan signifikan ketika terjadi kasus bencana alam di berbagai wilayah negeri ini, Pemahaman terhadap fenomena lingkungan alam yang terjadi membutuhkan kepedulian dunia pendidikan untuk mengingatkan dan menjadikan alam sebagai bagian dari lingkungan pembelajaran, sehingga anak merasa dekat dan beratanggungjawab terhadap alam lingkungannya
Jalan masih panjang, sebuah ruang kembali terbentang, dan waktu menanti kerja hari ini dan esok hari untuk meraih prestasi
Sumenep, Akhir Januari 2006 (Hidayat Raharja)

Kamis, Juni 19

KOMEDI SEGAR “3 O T”

Layar lebar di hadapan penonton memaparkan teks panjang, perhatian penonton dituntun pada jalan cerita yang akan ditayangkan. Saat perhatian terfokus pada bacaan yang begerak tersebut dikejutkan oleh antitesa sebuah teks ” Tapi Bukan itu cerita yang kami maksud”.Sergapan teks yang membuyarkan perhatian penonton. Jengkel, namun kemudian kudu tertawa akibat ulah kreatif anak-anak muda di kelas X-4. Kreatifitas yang disodorkan dalam film pendek sekitar 20 menit “3 O T”. Disini kreator mampu mempermainkan emosi penonton untuk terus-menerus mengocok perut, alias tertawa.

Pembuka tayangan dalam film pendek “3 O T” telah membuka pikiran penonton memasuki sebuah ruang yang secara terbuka menawarkan sebuah komedi yang mengolok-olok diri-sensdiri. Sebuah komedi khas anak muda mengolok-olok impian dan kenyataan dengan peran tiga cewek ; Tia, Tata dan Tina, lawan mainnya dan tiga cowok Gara-gara, SIM dan Goblok. Sebuah penamaan yang sengaja memancing tawa dan menjadi sumber olokan dalam jalinan kisah yang dirajut. Para pemain memainkan peran secara pas untuk menertawakan diri sendiri.

Tiga gadis manja dan kolokan kemudian bermetamorfosis menjadi tiga cewek canatik setelah memulas wajahnya dengan mik-up yang diperoleh mereka daril mengambil milik orang lain. Kemudian ketiganya melakukan perjalanan ke luar kota. Dio sebuah desa yang sepi mobil yang mereka kendarai, mogok dan dimulailah kisah perkenalannya dengan tiga cowok desa yang lugu bernama gara-gara, Goblok dan SIM (barangkali dari nama KoSIM). Kisahpun berlanjut saat goblok mencoba mobil tiga cewek tersebut yang telah diperbaiki, namun sial di tengah jalan distop polisi, karena tak membawa surat-surat kendaraan dan Surat Ijin Mengemudi. Saat polisi tersebut memberhentikan mobil kamera sangat cerdik memotret kaki pak polisi yang memakai sandal. Olok-olok yang cerdas dan dengan sendirinya penonton dengan ikhlas membayarkan tawa.

Begitu lugu seorang Goblok saat ditanayakan SIM ia minta ijin untuk membawa Sim yang ternannya sendiri. Situasi yang membuat semua akan tertawa. Olok-olok terhadap diri sendiri. Dari sinilah kisah kocak ini merambat dan menstimulasi otot perut untuk bergoyang dan raut wajah menyeringai tawa.
Ada tiga hal yang patut ditelaah dalam tayangan “3 O T” sebagai sebuah cermin sosial;
Pertama, mik-up sebagai bahan yang mampu menyulap penampilan bahkan kepribadian seperti dalam tayangan. Hanya dalam satu jam (seperti penjelas teks di layar) cewek-cewek culun dan manja tersebut berubah menjadi cewek-cewek cantik. Perubahan sebuah imej yang bisa disulap oleh mikup. Tak ubahnya sebuah bualan iklan yang memtok jika pakai mikup produk , parfum itu maka anda akan cantik, didekati pria tampan atau wanita cakep. Sebuah olok-olok terhadap penumbuhan imej yang salah yang kerap ditawarkan sebuah iklan produk tertentu. Sementara kecantikan alamiah yang dikenal inner beuaty takkan pernah tertututpi oleh mikup, dan semacamnya.

Kedua, Polisi sebagai pengayom masyarakat. Betapa ariefnya anak-anak muda pembikin film ini yang mengolok-olok polisi dan mempermainkannya, namun polisi tidak melakukan tindakan apa-apa. Tak ada penilangan walau pengendara tidak memiliki Surat Ijin Mengemudi dan Surat Perlengakapan kendaraan. Adakah sebuah sindirian terhadap pelayanan polisi yang kerap pilih kasih? Tanyakan aja pada pembuat skenarionya, hahahahaha...!

Ketiga, Hadirnya komedi yang mampu mengocok perut merupakan saluran pembuangan untuk mengenyahkan kesumpekan dan beratnya beban belajar yang mereka tanggung. Mereka mampu membuat komedi situasi dalam kelas tanpa harus emngolok-olok guru. Pikiran yang cerdas. Karena untuk membuat tertawa tidak harus melecehkan orang lain.
***

Secara visual film “ 3 O T ” memberikan sesuatu yang lain dari film yang pernah diproduksi oleh anak-anak sinema smansa. Suatu pengharapan kelak akan hadir kreator sinema yang berbobot dan mampu mewarnai perfilman di tanah air. Sukses buat komunitas X-4. Kalian cerdas. Good Luck! (hidayat Raharja)

Rabu, Juni 18

BIKIN FILM, MAHALKAH ?

Recehan-recehan dikumpulkan dari masing-masing siswa, merogoh sedikit uang jajan yang diberikan oleh orang tua. Terkumpullah 200 ribu rupiah yang dikelolah oleh tim produksi masing-masing kelas. Kelas mulai membentuk tim produksi (Pimpinan produksi, penulis skenario, sutradara, tim artistik, pemain dan crew). Dengan kesepakatan yang demokratis terpilihlah tim produksi yang akan menangani proses pra produksi dalam pembuatan film. Dengan hiruk pikuk dalam pemilihan pimpinan produksi, kayak sehiruk pikuknya “Kampanye Pilkada” yang lagi ngetrend di dunia politik bumi kita saat ini.

Minggu berikutnya kelas mulai ramai dengan proyek recehan yang harus terlaksana sesuai dengan target jadwal kegiatan produksi film. Film maker-film maker amatiran tumbuh bak jamur di bawah pohon tua yang mulai menggugurkan daun-daunnya. Tunas-tunas muda dengan kegairahan yang membludak menyemaikan musim ajaran baru yang penuh dengan kegiatan KBK dan nilai ketuntasan minimal 7,5 yang harus terpenuhi (kalau tidak yang tentu REMIDI). Para siswa yang tergabung dalam tim skenario berlomba-lomba mengeluarkan ide imajinatif dan memang terlihat wajah-wajah yang bengong dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarya tidak berketombe. Merancang dan mendiskusikan ide kedalam goresan-goresan scine menjadi pemandangan di dalam kelas pelajaran seni budaya selama 2 kali tatap muka. “Pak, bagaimana kalau film yang akan kita buat bertemakan cinta”, celetuk seorang dari tim skenario, memulai diskusi hangat seputar alur dari tema yang akan dijadikan bahan diskusi skenario. “ok, boleh-boleh aja, tapi harus mengeksplore kearifan budaya local sebagai ide garap untuk kekuatan film kalian”, tukasku mengarahkan diskusi para film maker muda ini. Seminggu kemudian terkumpullah 8 skenario film dan menjadi awal garapan selama proses produksi dimulai.

Anggaran untuk membeli kaset handycam mengawali pelaksanaan hiruk pikuk shooting yang akan dikerjakan selama 3 bulan ke depan, tiap sore ramai siswa-siswi dari kelas X-1 sampai X-8 hilir mudik di studio media (tempat tongkrongan ekskul cinematografi), pagi samapi siang mereka belajar di dalam kelas, sore saat matahari condong ke barat mereka sibuk ber cut to cut adegan di ruang-ruang public dan Actionmana ekspresinya ???” (kayak disalah satu iklan televisi), dan matahari mulai terbenam mereka sibuk menyelesaikan tugas untuk hari berikutnya di sekolahan. Capek pak, sibuk pak, asyik pak dan kata-kata itu sering terlempar dari sekian mulut film maker-film maker muda ini.

Suasana serius dan emosi yang dicairkan oleh “arojak abareng” setelah selesai shooting, menjadikan para siswa itu semakin kompak dan rasa kekeluargaan yang mereka dapatkan saat proses produksi. Membuat film itu murah, tapi terkadang kebutuhan non artistic inilah yang membuat anggaran membengkak untuk membuat sebuah film, namun memang proses “sosialisasi” itulah yang banyak mengeluarkan tambahan dana.

Awal bulan Juni saat SMA Negeri 1 Sumenep menggelar ujian semester dan ujian blok, para film maker muda istirahat total untuk menyiapkan segala kebutuhan amunisi untuk ujian dan proses pasca produksi dilakukan saat para editor meluangkan waktunya yang super sibuk itu untuk menyelesaikan editing agar film yang mereka buat dapat ditayangkan dalam acara RESITAL 2008.
Mahalkah membuat filim ?? iya benar seratus persen. Karena yang mahal adalah ide, kreativitas, perjuangan dan inovasi yang semuanya ditumpahkan melalui karya. Akhirnya, patut kita hargai setia karya yang mereka tawarkan kepada kita.(by. Agus teater)

KULTUR URBAN; "SLAMET IN THE MOVIE"

Budaya urban sebuah konsekuensi dari persilangan antara budaya lokal dengan budaya asing yang diboncengi kapitalisme dengan ajaran gaya hidup konsumtif bagi setiap penganut yang terseret ke dalamnya. Kota kecil tak jauh beda dengan kota metropolis, karena warna metropolis banyak ditemui juga di kota kecil. Keberadaan desa tak jauh berbeda dengan kota, karena desa juga telah diinvasi oleh jaring-jaring budaya kapital lewat kejelian media teknologi audiovisual yang demikian gampang dan mudah didapatkan sampai ke pelosok desa..

Hadirnya televisi, VCD/DVD telah memberikan sumbangan besar bagi kehidupan dan perubahan gaya hidup masyarakat dunia ketiga. Lewat televisi khotbah kehidupan selalu bergema sepanjang waktu memasuki ruang keluarga. Bagaimana televisi telah mengajari kita untuk yakin bahwa gemuk tak cantik, bahwa kurus seksi. Bagaimana pula kehadiran stasiun televisi mengkhususkan dirinya menyajikan musik sebagai tayangan yang disodorkan bagi dunia anak muda. House Music, Dance Music yang menghentak-hentak memasuki dinamika kehidupan kaum muda. Bahkan sejak beberapa tahun yang lalu salah satu stasiun televisi – Global TV – membikin acara live sebuah kompetisi dance yang dilangsungkan di berbagai kota untuk menyeleksi para pemenangnya memperebutkan hadiah tertentu. Ajang pertarungan yang sangat kompetitif dilakukan secara sportif.

Inilah salah satu kultur anak muda yang coba digarap oleh anak-anak nongkrong X-2 dalam “Slamet In The Movie” (SITM) dengan sutradara Januarsyah Zulfikar. Persoalan anak muda yang amat sensitif terhadap datangnya budaya baru. Bagaimana seorang Slamet yang “Katrok” memasuki kehidupan baru sebagai anak kota, dan kemudian terpengaruh untuk belajar dance seperti yang dilakukan teman-temannya. Ke-katrok-an yang dipertegas dengan kostum dengan songkok dipasang menyamping dan wajah yang lugu. Sebuah gambaran yang memudahkan penonton untuk memasuki alur certa yang akan dipaparkan.

Ada dua hal yang dapat dibaca saat menyaksikan film pendek “ Slamet In The Movie”, pertama dance sebagai bahasa pergaulan mereka di antara kesesakan dan kesuntukan pelajaran di sekolah. Dance sebagai ikon kaum muda yang dinamis, penuh gelegak dan gelora. Sebuah peradaban kaum muda yang begitu fleksibel menerima perubahan. Kultur yang telah mengubah pola hubungan antar sesama. Bagaimana persilangan bahasa Madura yang penuh tatanan masuk dalam gerakan tubuh yang dinamis dan ekspresif. Representasi dari cara mereka berkomunikasi dan berpakaian sebagai sebuah cermin kondisi hidup kekinian. Kehidupan yang demikian terbuka dan kompetitif, dan bahkan cenderung anarkhis.
Kedua, tayangan sebuah keadaan bagaimana pengaruh kultur urban terhadap pola hubungan antara guru dan murid atau juga sesama mereka . Bagaimana sebuah ironi ditayangkan saat ulangan remidi, guru yang tertidur di dalam kelas ditinggalkan muridnya. Apakah guru tertidur karena malam harinya banyak obyekan atau karena sudah tak peduli lagi terhadap penilaian yang dilakukannya. Artinya guru sudah memberikan nilai tidak lagi obyektif, karena hasil ulangan tak lagi menjadi pertimbangan dalam pemberian nilai. Bagaimana pula realitas kelas yang disodorkan, saat ujian siswanya kompak saling bekerja sama, saling mencontek.. Sebuah goresan tebal – kalau tak menyakitkan terhadap budaya lokal yang menjunjung tinggi harkat guru. Bapa’, Babu’ , Guru, Rato strata kepatuhan bagi masyarakat Madura. Guru menempati posisi sebagai pengganti orangtua. Betapa bangga anak-anak kita memperolokkan guru dalam sebuah parodi karikatural, sebagai obyek lelucon seperti yang banyak diajarkan dalam sinetron-sinetron dalam televisi kita. Betapa televisi telah sukses memasuki pikiran kaum muda untuk membangun sebuah pemahaman baru tentang dunia pendidikan.

Munculnya tayangan cerita semacam ini, bisa menjadi sebuah permenungan bagaimana perubahan pemikiran dan pemahaman bergerak dalam pikiran kaum muda. Bahwa tradisi yang menghamparkan kearifan-kearifan lokal, ada yang tergerus oleh gelombang perubahan budaya asing yang menghantam dan mengoyak budaya setempat. Hal ini bukan untuk disesali tetapi perlu diarifi bersama, bagaimana mengangkat hal-hal yang memang baik untuk bisa dihidupkan kembali dan hal-hal yang buruk untuk ditingggalkan.

Tapi hal lain yang cukup menarik dalam tayangan SITM, sosok Slamet yang lugu namun juga konyol mengingatkan kepasda sosok si Kabayan. Kekonyolan yang menyebabkan dia harus pulang ke kampung karena ayam peliharaannya mati. Secara visual SITM tak jauh berbeda dengan Football Street. Cuma para aktor SITM sangat kaku dalam memainkan gerakan dance yang dinamis. Barangkali inilah yang harus diperhatikan oleh para pemain bahwa film adalah sebuah realitas rekaan dalam gambar. Artinya bahwa, ketika kita memainkan peran penari harus mampu dan betul-betul menguasai tari yang kita mainkan. Selamat Belajar , jangan banyak – banyak remedi. Good Luck! (Hidayat Raharja)

Selasa, Juni 17

SAAT KITA TEGUK NESCAFE DI CAFÉ RESITAL

Kita semua gelisah, sms ku sebar ke area bebas pulsa, namun yang kudapat detik-detik waktu merangkak dan menunggu balasan tak kunjung datang. Suara knalpot dari kendaraan yang kuhafal benar ketukan temponya, hampir menyerupai musik kontemporernya I Wayan Sadra saat kutonton di Gedung Kesenian Jakarta waktu itu. Kubuka dialog itu dengan seruput kopi tabalik menu khusus dari cafe Komunitas Teater Smansa. Pembicaraan dimulai dengan sebuah karya haruslah dimulai dengan pengumpulan data dan setelah karya itu diapresiasi ke hadapan penikmat harus dipersiapkan tentang pertanggungjawaban dari karya tersebut. Mungkin dinginnya kopi tabalik inilah yang menghangatkan obrolan malam itu.

Ya memang, setiap karya bukannya ide imajinasi yang menyeruak pada karya visual, tapi harus terencana dengan manajemen data yang valid. Dari sekitar 50 karya photoshop, bermunculanlah ide-ide yang luar biasa dengan memakai kacamata siswa SMA, tetapi kelemahan dari beberapa karya memang hanya sebatas pemunculan ide dan konsep yang sudah tersusun. Kelemahan pencarian data sebagai dasar untuk karya mungkin menjadi batasan berat, dikarenakan tidak dibekali keberanian untuk bertanya. Kepala ini sedikit pusing karena aroma roti bakar kimiawi menggugah selera makanku dan seliweran kendaraan hilir mudik di depan cafe hingga kaki-kaki itu melangkah menghampiri karya-karya mading di lorong-lorong kelas. Di sini juga bermunculan ide-ide jurnalistik yang penuh inovasi.

Dinginnya kopi tabalik membawaku ke aula untuk melihat pembukaan RESITAL III oleh kepala Sekolah SMA Negeri 1 Sumenep dengan melemparkan harapan bahwa acara RESITAL dapat menjadi sebuah kegiatan rutin yang bias dilaksanakan setiap tahunnya dan dapat dijadikan ruang kreatifitas untuk seluruh siswa. Aku melirik pada sahabatku yang duduk dibelakang, dan sambil tersenyum dia melirik kesebelah tempat duduknya karena sesaknya penonton. Tayangan Video klip dan film pendek karya kelas X-1 pun selesai dan dialogpun berlanjut di emperan café dengan kegelisahan masing-masing yang dibawa pulang menuju pada peristirahatan malam ini.
Pagi merangkak dan di depan komputer ruang guru ada banyolan “jangan beri aku segelas kopi tapi cukup sebotol air murni, jangan beri aku sepi karena aku butuh rame-rame”….ntar malam pasti akan lebih hangat lagi……..

KAOS SOKO POTE E ARE JUMA’AT

Pengantar:
Dari arena pameran jurnalistik - Resital Smansa, banyak hal yang cukup menarik di antaranya tampilan mading bentuk tiga dimensi dengan aneka tema di antaranya: Global Warming, Budaya, Kebangsaan, Sosial, dan Pendidikan. Salah satu di antaranya yang disorot blog ini hadirnya cerpen berbahasa "Madura" di mading yang dibuat siswa kelas XI IPA-5. Hal ini cukup menarik karena, mencerminkan bahasa lokal di kalangan kaum muda, yang sudah berinteraksi dengan bahasa lainnya.(redaksi).

****

“Eh, tenggu!!! Dina ngangguy kaos soko pote! Ha..ha..ha..!” ledek Amda dan cukup membuat semua teman sekelas menertawakan Dina yang baru saja dating.
“Wuh, kuno deh! Ta’ nenggu tivi samalem? Samalem badha pesta are kebangkitan nasional se kasaratos tahon. Daddi sengko’ nga’reya kalaban mempromosikan baramma carana membangkitkan diri dhari hal se paleng kene’. Contona ya kaos kaki reya!” Dina berusaha membela diri.
“Eh, bangkit itu susah… melihat yang lainnya susah. Bangkit itu malu… malu jadi benalu, malu karena minta melulu!” ucap Tiya berpuisi di depan kelasnya.
“Ganeka puisina Deddy Mizwar! Baramma bias bangkit, mon apuisi bai ngala’ puisina oreng laen!” ejek Amin.
“Bangkit rowa ta’ tedhung! Jarowa kasempolanna, catet!” ucap Nufa.
“Apa hubunganna?” Tanya Amda keheranan.
“Tenggu baramma oreng se tedhung e jalan, tape paggun bias nyettir mobil swe4 ngenynyer.” Jawab Nufa.
“Oh, maksodda ba’na oreng se paggun tedhung nenggu oreng se kalaparan e penggir jalan? Bagus keya ba’na!” puji Dina.
“Baramma bangkit dari kubur se e tayangan tivi-tivi? Kan nyamana bangkit keya? Apa hantu-hantu jarowa noro’ araya’agi kebangkitan nasinal keya? Ha..ha..ha!” ucap Yadi sambil bercanda.
“Ba.. teppa’ keya! Kebangkitan haros bangkit kabbi!” ucap Faisal mendukung Yadi.
“Maksudnya itu hanya ungkapan. Sebenarnya bangkit dari kubur itu adalah bangkit dari kematian… kematian hati nurani.” Tiya sok puitis lagi.
“Weiss komat pole! Tape bagus keya puisina!” puji Amin.
“Bangkit rowa padha ban na’-kana’ se dina’agi boneka barbiena kagabay abareng moso kancana se laen!” tegas Dian bergaya seorang ibu yang menasehati anaknya.
“Teppa’! tape se paleng penting kellas kita, pren!” ucap Dina.
“Arapa kellas kita? Ja’ ro-ngaro, polana engko’ gita’ piket?” ucap Faisal merendahkan suaranya sembunyi-sembunyi dari Yuli yang sejak tadi memelototinya dan mengancamnya dengan sapu.
“Banne! Tape kebangkitan sosial se badha e kellas sabellas ipa lema’ reya!”
“Maksud loh?” Tanya Amin dengan sedikit bergaya.
“Iye kan. Dhari gara-gara kaos soko malah membangkitkan kita dhalem ama’naagi are Kebangkitan Nasional. Padahal kaos soko dhari minggu ba’ari’ ta’ esassa.”
“Be.. sassa, Din! Ca’na terro bangkit! Mangkana molae gelle’ ma’ badha bau ta’ nyaman!” ledek Yadi.
“Daddi kasempolanna dhari se kita kacaca molae gelle’ areya Bangkit rowa pardhuli dhari se eanggep masalah paleng kene’ sampe’ ka parubahan raja!”
YOP! ODHI’ IPA LEMA’!!!”

FOOTBALL STREET:Hibrida Bahasa Lokal dalam Visualisasi Ikon Global

Seorang remaja tengah berdiri di tepi jalan yang sepi, tiba-tiba dari arah samping mendekat seorang loper bersepeda membawa Koran. Salah satu korannya jatuh tanpa diketahui si loper. Anak muda itu memberitahukan bahwa korannya jatuh. Loper Koran meletakkan sepeda mengambil koran yang terjatuh. Saat itulah anak lelaki itu membawa lari sepeda, jauh memasuki liku lorong-lorong perkampungan sampai kemudian terjatuh ke selokan.

Adegan pembuka film pendek Football Street garapan kelas X-1 SMA Negeri 1 Sumenep dengan sutradara Bastomi. Selanjutnya membawa penonton pada persoalan-persoalan kekerasan, pertemanan, ngeband dan ngebola di jalanan. Garapan yang cukup menarik untuk disimak dan dinikmati. Sebuah gambaran kehidupan anak muda; kekerasan di jalanan, musik (band), dan sepakbola. Identitas kekinian di saat jalanan bukan lagi lalulintas angkutan atau kendara, namun juga lalulintas persoalan bagi kaum muda. Bagi kaum muda jalanan adakalanya merupakan ruang lain untuk melampiaskan kecemasan, mencari identitas diri dalam solidaritas gang (baca; kelompok) sekaligus menggantungkan cita-cita di antara rasa putus asa.

******

Musik menjadi bahasa ucap mereka untuk mengungkapkan kecemasan, juga cinta. Bahasa musikal, bahasa yang mampu mewakili berbagai persoalan dan perasaan. Ikon hidup kekinian, ketika musik menjadi salah satu daya tarik untuk menangguk popularitas . Bahkan musik memberikan jalan pintas untuk meraih popularitas semu dari berbagai kontes dan audisi dengan polling sms dari pemirsa. Pemanang kontes dan popularitas akal-akalan karena untuk mendapatkan sms yang banyak peserta audisi atau kontestan diperbolehkan mengirim sms untuk mendukung dirinya sendiri. Namun jalan pintas itu telah banyak menjerumuskannya dalam belitan nasib yang terpuruk.

Lain lagi dengan sepakbola. Keberuntungan para penendang bola di lapangan hijau yang sukses dan berhasil hidup dari tendangan bola ke gawang lawan. Berjuta-juta umat manusia menjadi penganut “sepakbola” sebagai “ agama baru” yang mampu melepaskan identitas kebangsaan agama, usia, dan jenis kelamin.

Dalam perkembangan teknologi informasi, sepakbola menjadi dagangan mahal yang diperebutkan antar stasiun televisi untuk mendapat hak siar. Biaya mahal, karena ingin mendapatkan banyak tayangan iklan yang berarti masuknya keuntungan yang sebesar-besarnya bagi stasiun yang menyiarkannya.

***

Hibrida; persilangan antara dua sifat berbeda sesuai dengan yang diinginkan. Persilangan antar budaya hadir secara gamblang dan terbuka di era pascamodern. Persilangan antar bahasa atau budaya lokal yang lugas dengan bahasa asing “Football Street” tanpa rasa canggung. Sebuah cermin sosial anak muda yang begitu elastis, kenyal memasuki kultur asing dan meleburnya dengan kultur lokal, merasuk ke dalam diri. Tak ada yang gagap, semua serba memungkinkan, berlangsung apa danya.

Lokalitas bahasa yang mengungkapkan persoalan kontemporer atau kekinian, ketika lokalitas itu setara dengan yang asing atau yang lainnya. Melebur dan membaur sebagai persaoalan bersama; persoalan anak-anak muda. Idiom musik sebagai ikon budaya anak muda, dan sepakbola sebagai sesuatu yang bukan lagi milik sebuah perseoranga, kelompoik atau kebangsaan, tetapi telah menjadi milik masyarakat dunia. Ikon budaya global, namun diungkap dengan bahasa lokal, sebagai identitas di tengah terdesaknya bahasa lokal (Madura) oleh gempuran dan gempitanya bahasa, budaya asing yang menginvasi lewat berbagai media. Invasi yang demikian gencar sampai memasuki ke pakaian dalam yang paling rahasia.

Suatu kreatifitas anak-anak muda, menyilangkan sesuatu yang asing dengan konten bahasa lokal, lewat idiom musik dan sepakbola, membicarakan persoalannya. Namun kelemahan film pendek garapan Bastomi ini visualisai potongan gambar belum terbangun secara utuh sehingga terasa ada bagian yang terputus, kagak nyambung. Kelemahan ini sangat kentara karena, pada ending cerita ditutup oleh teks demikian panjang untuk menjelaskan jalan cerita yang kabur. Good Luck! Sukses buat X-1. Peace......!(Hidayat Raharja)

Senin, Juni 16

POTRET DUNIA PENDIDIKAN DAN LINGKUNGAN DI MATA ANAK-ANAK SMANSA

Tidak pernah terduga. Menakjubkan. Kata itu yang pantas diucapkan manakala menykasikan karya photoshop anak-anak SMA Negeri 1 Sumenep. Dengan keterbatasan pengetahuan mengenai photo shop mereka mencoba mengolah gambar untuk memvisualisasikan ide dan gagasan terhadap persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya. Menariknya, apa yang dipotret oleh mereka merupakan persoalan-persoalan aktual, dan faktual. Persoalan mengenai lingkungan akibat pemanasan global yang mempengaruhi terhadap perubahan iklim di atmosfer bumi. Dengan bahasa gambar beberapa karya mereka mencoba mengingatkan semua mengenai ancaman pemanasan global yang dampaknya saat ini telah dirasakan. Sehingga apa yang mereka visualkan adalah sebuah upaya untuk mengingatkan semua menjaga kelestarian atmosfer bumi.

Persoalan menarik lainnya mengenai potret pendidikan, masuknya dunia kapitalisme dalam sistem pendidikan dengan bahasa visual yang sederhana. Mereka mengungkapkan persoalannya sendiri. Besarnya biaya pendidikan kadang tidak setimpal dengan mutu yang diperoleh. Serta gelar kesarjanaan yang begitu mudah diperoleh dengan sejumlah uang tertentu. Begitu gampangnya bagi mereka untuk memperoleh gelar, namun secara parodi mereka mengungkapkan betapa sulitnya mencari ilmu. Secara karikatif mereka memvisualkan monyet berkaca mata membaca sebuah buku.


Betapa banyak gagasan dan pemikiran anak-anak muda dengan kreatifitasnya mereka mengajak kita bersma untuk merenungi kehidupan yang kian instan. Beban pendidikan yang demikian berat, karena hampir setiap kegiatan pendidikan di Indoensia tidak dapat dilepaskan dari persoalan pendanaan. Beratnya beban belajar yang dipikul oleh siswa divisualisasikan dengan seorang anak di atas kepalanya ditumpuki susunan buku tebal sehingga anak itu terduduk saking beratnya beban yang ditanggungkan. Di sisinya lembaran uang melatar belakanginya., menegaskan beban biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pendidikan. Sebuah gambaran betapa mereka telah berbicara mengenai sistem yang mengenainya, namun mereka tak bisa berbuat apa-apa kecuali dengan mengungkapkan secara visul lewat karya kreatif photo shop.

Sketsa-sketsa yang ditampilkan oleh siswa kelas XI IPA, amat menarik untuk disimak mereka menampilkan kondisi lingkungan terdekat yang menginginkan kenyamanan dan keteduhan. Cukup menarik tarikan garis spontan yang dilakukan para calon pelukis sketsa
Mereka ada yang menggoreskan detail ruang, dimensi bangunan, dan menangkap obyek dari arah tanah ke angkasa. Sebuah spontanitas yang perlu mendapatkan perhatian bersama. Bahwa mereka memiliki potensi untuk mengembangkan diri dalam kemampuan menangkap obyek dan dituangkannnya ke dalam, sebuah sketsa. Spontanitas dan kejujuran yang terbaca dari goresan garis yang bergerak dari tatapan mata dan redaman perasaan mereka.

Jumat, Juni 13

RESITAL ; MAHLUK APAKAH ITU ?!

Tiga tahun yang lalu, saat gerimis ikut andil menjaga lingkungan kita agar bisa tumbuh tunas-tunas muda diantara reranting-reranting tua yang hampir patah. Saya bertemu dengan teman karib saya yang memang mumpuni disegala lini kehidupan lapangan kreativitas, ya bisa dikatakan dia penjaga gawang yang handal. Kepulan asap tak lagi keluar dari bibirnya karena tubuhnya pernah dihunjam aliran air infuse. Dia, Dayat Raharja dan mulai perbincangan dengan saya, tentang bagaimana membuat sesuatu agar semua terasa menggeliat. Dia pun batuk-batuk karena kepulan asap Marlboro yang sempat ia hirup dari cerobong muka saya. “Karya dong, dan harus berkarya”, hanya itu yang sampai sekarang menyelimuti otak saya. Maka, lahirlah mahluk yang bernama “keberanian tuk berkarya”. Cercaan, kepulan kecurigaan, konflik imajiner ikut andil dalam mengembangkan kelahiran mahluk yang bernama resital. Makhluk yang tengah menggeliat menuju proses pendewasaan.Dua puluh empat film, 16 judul video klip, 5 karya pagelaran teater, satu karya pawai topeng dan puluhan karya poster sudah lepas dari busurnya dan mahluk itu sudah melahirkan sutradara-sutradara muda, aktor dan aktris amatir serta perupa-perupa yang selalu kangen pada acara resital. Sebentar lagi tepatnya tanggal 17 sampai 24 Juni mahluk yang penuh gagasan itu menggebyar penayangan Film Pelajar Video klip (judul film : Street FootballSlamet in the MovieTrio TSongennep CiltureJaka ApesTarian Diujung DeritaTao Tengngu Dibi’) , pameran poster dan pamlet, pameran mading 3 dimensi, pementasan teater 100 topeng, pemutaran iklan dan juga tempat nongkrong café K@TES. Saya jadi berkhayal kepada sosok teman karib saya, dengan senyumnya bisa merontokkan kegersangan imajinasi, tanpa kepulasan asap dari mulutnya pun masih tersungging senyuman. Entah apa makna senyum itu apakah karena ingat akan infus yang pernah menjalar dipembuluh darahnya atau karena melihat siswa-siswa di SMA 1 yang kian liar kreativitasnya membidik persoalan-persoalan di lingkungannya. Entahlah hahaha……..(mahluk apa ini ?!) (by. Agus teater)

SECANGKIR TEH HANGAT RESITAL

Matahari menapaki waktunya menuju pada persembahan alam yang agung, kepulan asap knalpot membawa saya ke pintu gerbang imajinasi yang berkeliaran di bangku-bangku kosong SMA Negeri 1 Sumenep. Sangat terasa geliat aktivitas siswa kelas sepuluh dengan seriusnya para siswa merekam seluruh permainan acting didepan kamera. Peluh menetes dan omelan sutradara terdengar tegas menyusun scene per scene menjadi jalinan adegan film pelajar. Terkadang omelan-omelan pemain dan crew merajut diperistiwa proses kreativitas tersebut. Dan bedug Magrib pun bergema, sunyi sesaat menyisakan goresan-goresan gambar di dalam pita kamera handycam.

Kehangatan itu sangat terasa hingga ke ruang-ruang keluarga, ruang guru sampai ke ruang pembuangan akhir. Semua menggugat, semua menoleh dan semuanya khawatir, ada proses apakah gerangan yang membuat semua siswa penuh konsentrasi melaksanakan “shotting”, entah apakah alasan yang dibuat-buat agar bisa dapat ijin keluar rumah untuk bertemu dengan kekasihnya, entah juga sebuah alasan untuk bisa meninggalkan jam pelajaran karena suntuk, ataukah meninggalkan rutinitas les yang terasa monoton ???

Namun kehangatan teh sore itu mencairkan praduga tak bersalah, ya mereka satu tujuan “kreativitas yang mampet dan kegelisahan imajinasi serta logika ditumpahkan sampai pada kartasis dalam sebuah karya”. Dan semua siswa hiruk pikuk menyerutup teh hangat resital tepat pada waktunya. Ya semua pengorbanan besar yang mungkin hanya mendapatkan cibiran dari teh yang berceceran di lantai kosong. (by. Agus teater
)

Kamis, Juni 12

LORONG IMAJINATIF YANG MELUBER

Lorong itu makin suram, terlihat sekilas hampir ditelan arus globalisasi. Mungkin imajinasi inilah yang meluber ke kepala para siswa di SMA Negeri 1 Sumenep dan akhirnya tertumpah ruah dibangku yang hampir rapuh ditelan masa, pada pembelajaran seni budaya. Kehangatan imajinasi berputar-putar menghunjam dan menggeliat, lahirlah ide-ide untuk diwujudkan ke ruang kreativitas berupa tulisan-tulisan dalam bentuk skenario. Imajinasi mereka berpihak pada keterpurukan nilai-nilai tradisi yang sudah megap-megap oleh sesaknya asap BBM, sempitnya ruang komunikasi penggunaan bahasa Madura, kenakalan remaja yang sudah lupa dengan unggah-ungguh pada orang tua, kemalasan bersekolah karena mahalnya biaya menempuh pendidikan di gedung persekolahan. Komunikasi HP lagi ngetrend di ruang pendidikan, kelompok belajar hanya dijejali materi ngerumpi hingga blo’on dan banyak lagi bahasa imajiner yang tak mampu semuanya tertuang ke dalam bentuk film.

Tak kalah menariknya juga lorong imajinatif itu terwujud ke dalam karya iklan yang memang sekarang lagi tumbuh subur ditengah-tengah fenomena Iklim Global yang ditayangkan ke ruang personal. Bukannya mereka sok pengen masuk ke dunia industri media, namun hanya sebuah kiat kecil untuk tidak hanya menilai, tetapi memberikan sebuah tawaran bahwa “aku juga bisa tuh !” . Kesombongan juga bukan, tetapi bagaimana kemampuan siswa untuk berinovasi, kreatif juga tidak trend “Ndesonya” Tukul Arwana. Saya hampir sesak bernafas, bukan karena pengaruh Marlboro yang selalu saya hisap, namun karena saya selalu dijejali oleh ide-ide kreatif yang selalu meluber. Genangan ide dan kreativitas selalu menyesaki kepala saya, hingga RESITAL 2008 harus digelar lagi untuk menutup tahun ajaran. Disini lorong imajinasi siswa-siswi SMA Negeri 1 Sumenep meluber menjadi karya kreatif. Wuiihhhh!!! (by. Agus teater)

BAROENGNGA SMANSA

Ada yang cukup menarik dalam agenda acara sajian recital samnsa ke-3. Selain menyajikan karya kreatif siswa dalam bentuk pertunjukan juga mnyajikan aneka menu yang berasa sains. Roti Bakar Kimiawi, Internet (Indomie Telor Kornet), Pisang Bakar Biologis (Pibabi), Teh Githel (Teh Legi Kenthel), Es Cendol Tabhalik, dan sekian menu yang halal.

Acara yang juga didukung Madura Channel, Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), Dinas P dan K jawa Timur dan seluruh komunitas sineas pelajar se jawa timur, juga menyajikan konsultasi audiovisual dengan kemasan program televisi lokal oleh Madura Channel.

Rabu, Juni 11

MENYONGSONG RESITAL SMANSA III: UPAYA MENGGALI BUDAYA LOKAL

Kegiatan akhir tahun ajaran yang biasa diselenggarakan SMA negeri 1 Sumenep berupa Resital Smansa. Sebuah aktifitas unjuk karya siswa, meliputi teater, musik, tari, sinema dan pameran karya photoshop. Kegiatan ini merupakan sebuah upaya mengakomodir dan mensosialisasikan karya siswa terhadap keilmuan (khususnya seni budaya dan Teknologi Informasi Komunikasi) yang telah dipelajarinya.. Pada tahun ini kegiatan ini akan disleneggarakan 17 sampai dengan 24 Juni 2008 bertempat di beberapa lokasi lingkungan SMA 1.
Sinematografi sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler akan menyajikan beberapa karya berupa film pendek yang dibuat oleh setiap kelas dengan tema yang lebih menekankan kepada upaya menggali budaya lokal. Sebuah pendekatan untuk mengakrabkan siswa dengan kebudayaan setempat yang akan memberikan nilai tambah bagi kehidupan siswa sendiri. Pengalaman yang akan diungkap dalam bahasa gambar dan menjadi sebuah visual isasi pemikiran anak-anak SMA 1dalam menyikapi dan mengapresiasi budaya setempat.
Iklan mengarah kepada iklan produk dan layanan masyarakat; persoalan lingkungan – global warning , pendidikan, dan interaksi sosial. Sebuah kepedulian untuk memahmakan pentingnya penyelamatan bumi termasuk pelestarian lingkungan yang semakin waktu kian terkoyak. Biarkan mereka berbicara dan menanggapi kondisi lingkungan dan kehidupannya, karena mereka yang akan menentukan amsa depan kehidupan ini.
Aktivitas kegiatan Photoshop, dibina oleh Bapak Fajar Suherdiansyah menggarap beberapa karya dnegan tema pendidikan, budaya dan sosial. Sebuah produk krteatif yang lebih banyak ke arah mengkritisi kondisi lingkungan sosial dan pendidikan. Karya kreatif yang mencoba mengungkap beberapa persoalan dari sudut pandang siswa sehingga, kadang persoalan terlihat secara hitam-putih. Bagaimana mereka mengkritisi lembaga perqadilan kita yang dada hakimnya berlumur darah dan di atas kepalanya timbangan keadilan terasa goncang.
Betapa anak-anak kita mampu membicarakan dan mengkritisi lingkungan budayanya. Keadaan yang meminta semua untuk mau mendengar, melihat dan melakukan perubahan.